Bisnis.com, JAKARTA — Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), diperkirakan berdampak signifikan pada bisnis perusahaan pembiayaan (multifinance). Pengamat ekonomi menilai kenaikan tarif PPN dapat memicu pelemahan daya beli masyarakat dan memperlambat sektor pembiayaan.
Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan bahwa dampak paling terasa bagi pelaku usaha adalah harga menjadi lebih mahal.
“Bahkan jika kita hitung, kenaikan tarif PPN 1% saja, dapat meningkatkan harga barang sebesar 9%,” kata Huda saat dihubungi Bisnis pada Selasa (19/11/2024).
Penurunan permintaan barang tersebut, menurut Huda, berdampak langsung pada penurunan permintaan pembiayaan, baik untuk barang konsumsi maupun modal usaha. "Bisnis multifinance akan melambat akibat pelemahan daya beli masyarakat, terutama untuk barang dengan harga tinggi," tambahnya
Maka bagi perusahaan multifinance, Huda mengatakan perlunya strategi untuk lebih menarik pembeli terlebih dahulu. “Promo pembayaran dan sebagainya saya rasa bisa menjadi strategi. Sehingga ada ketertarikan dari masyarakat untuk membeli barang terlebih dahulu,” imbuhnya.
Baca Juga
Dalam konteks industri otomotif, Praktisi dan Pengamat Industri Pembiayaan dan Otomotif, Jodjana Jody mengatakan ada dua isu perpajakan yang berpotensi memberikan dampak signifikan, terutama bagi perusahaan pembiayaan. Pertama adalah pemberlakuan opsen atas registrasi kendaraan di daerah, yang akan menambah beban biaya bagi konsumen setiap kali mendaftarkan kendaraan mereka.
Kedua adalah kenaikan atau pemberlakuan PPN yang lebih tinggi untuk sektor otomotif. Kedua kebijakan ini secara langsung dapat meningkatkan harga kendaraan, baik kendaraan baru maupun bekas, sehingga mengurangi daya beli masyarakat.
“Keduanya akan sangat memukul industri otomotif. Karena industri multifinance mayoritas masih tergantung ke sektor otomotif, maka ini tentu berdampak ke jumlah pembiayaan ke depan,” kata Jodjana.
Dia pun menyarankan supaya perusahaan pembiayaan menyiapkan strategi untuk menghalau kenaikan tarif PPN. Beberapa strategi yang dapat diterapkan antara lain, pertama, dengan diversifikasi portofolio atau mencari peluang di sektor non-otomotif untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar kendaraan bermotor.
Kedua, lanjut Jodjana, perusahaan harus menjaga likuiditas yang cukup, karena tren penurunan bunga di Amerika Serikat (AS) kemungkinan besar agak landai dengan kemungkinan kebijakan Donald Trump yang lebih proteksionis, di mana menekankan prioritas untuk melindungi kepentingan ekonomi, industri, dan tenaga kerja domestik AS. Terakhir, perusahaan harus disiplin dengan mitigasi risiko agar pembiayaan bisa lebih sehat.
“Kenaikan pajak akan membuat barang lebih mahal, sehingga assessment assesment [penilaian] kualitas nasabah harus dikelola dengan baik. Terutama yang sanggup dan mampu mengambil kredit. Makanya strategi di atas harus dijalankan,” kata Jodjana.
Senada, Direktur Keuangan PT Adira Dinamika Multi Finance, Tbk. (ADMF) atau Adira Finance, Sylvanus Gani melihat kenaikan PPN dapat berdampak pada kenaikan harga otomotif. Menurutnya kenaikan harga otomotif tersebut dapat menghambat pemulihan daya beli konsumen terutama pada segmen kelas menengah ke bawah.
Oleh sebab itu, Gani mengatakan bahwa penyaluran pembiayaan perusahaan khususnya untuk segmen otomotif kemungkinan bisa terdampak kenaikan PPN tersebut.
“Mengingat 70% pembiayaan perusahaan adalah pembiayaan otomotif. Selain itu, segmen yang dilayani adalah segmen menengah ke bawah,” kata Gani saat dihubungi Bisnis pada Selasa (19/11/2024).
Namun demikian, Adira Finance tetap berharap bahwa dampaknya tidak signifikan terhadap keseluruhan jumlah pembiayaan. Selain itu, Gani juga melihat adanya potensi peningkatan biaya di luar tenaga kerja karena kenaikan PPN, seperti biaya pemasaran dan komisi.
“Namun seberapa besar dampak atas peningkatan biaya tersebut belum dapat ditentukan dan saat ini masih dikaji,” katanya.
Sebagai langkah untuk menghadapi dampak kenaikan PPN, Gani bilang, Adira Finance akan melanjutkan inisiatif untuk memperbaiki struktur biaya yang sudah dimulai sejak tahun lalu guna memastikan kenaikan biaya operasional dapat dikelola dengan efektif dan efisien. Untuk menghadapi 2025, Adira Finance juga akan terus menerapkan berbagai inisiatif strategi untuk mendorong kinerja bisnis di tengah tantangan persaingan yang semakin ketat, dan pelemahan kinerja di industri otomotif serta makro ekonomi.
Pertama terus melakukan ekspansi bisnis secara selektif ke daerah-daerah yang memiliki potensi tinggi. Kedua, terus mengembangkan bisnis non otomotif seperti produk multiguna Ketiga, memperkuat kolaborasi dengan grup untuk meningkatkan customer base.
“Terakhir terus meningkatkan customer retention melalui penawaran yang lebih baik serta perbaikan proses, seiring dengan inisiatif untuk memperbaiki struktur biaya agar lebih bersaing dengan melakukan proses digitalisasi,” tandas Gani.
Sampai dengan kuartal III/2024, Adira Finance mencatat piutang pembiayaan yang dikelola mencapai sebanyak Rp56,6 triliun. Angka tersebut tumbuh sebanyak 7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pembiayaan bersama perusahaan mewakili 48% dari piutang yang dikelola.
Dari sisi pembiayaan baru, perusahaan mencatatkan penurunan sebanyak 9% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp27,8 triliun per September 2024. Penurunan tersebut disebabkan oleh penurunan segmen otomotif seiring dengan industri yang tengah melesu. Adapun hingga September 2024, penjualan ritel mobil baru turun sebanyak 12% yoy menjadi 657 ribu unit.
Sementara itu, sepeda motor baru sedikit meningkat sebanyak 5% menjadi 4,7 juta unit. Namun demikian, Adira Finance mencatatkan pertumbuhan dari sisi pembiayaan non otomotif mencapai Rp6,8 triliun, di mana pembiayaan multiguna berkontribusi terbesar dengan peningkatan 18% yoy.
Sementara itu, Direktur Utama BCA Finance Roni Haslim mengatakan bahwa perusahaan melihat bahwa kenaikan PPN dampaknya tidak akan terlalu signifikan. Terlebih kenaikan PPN hanya sekitar 1% pada tahun depan.
“Saya kira kalau cuma 1%, tidak akan terlalu signifikan dampaknya untuk kami,” kata Roni kepada Bisnis pada Selasa (19/11/2024).
Roni mengatakan pihaknya pun optimistis bahwa perusahaan masih akan mencatatkan pertumbuhan penyaluran pembiayaan tahun depan. Terlebih, pemegang saham berharap setiap tahun harus ada pertumbuhan. Namun untuk pertumbuhannya sendiri, perusahaan tengah mengkajinya.
“Untuk target [tahun depan] sedang dihitung,” katanya.
Adapun, BCA Finance telah menyalurkan pembiayaan baru sebanyak Rp40,15 triliun sampai dengan Oktober 2024. Angka tersebut naik sebanyak 11,8% apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Secara keseluruhan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) piutang pembiayaan perusahaan pembiayaan masih menunjukan pertumbuhan sebanyak 9,39% yoy menjadi Rp501,78 triliun per September 2024. Sementara dari sisi laba industri pembiayaan per September 2024 tumbuh sebesar 0,84% yoy atau sebesar Rp16,97 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman mengatakan pihaknya optimistis terhadap target pertumbuhan pembiayaan yakni 10–12% pada akhir 2024. Hal tersebut mempertimbangkan kondisi pembiayaan yang masih tumbuh dan masih ada waktu beberapa bulan lagi menjelang tutup buku akhir Desember 2024
“Meskipun terdapat risiko akan bias ke bawah sehingga diperlukan peningkatan piutang pembiayaan yang lebih besar ke depan,” kata Agusman.
Agusman memastikan untuk lebih mengembangkan industri perusahaan pembiayaan, OJK juga telah meluncurkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perusahaan Pembiayaan 2024-2028 yang dapat menjadi panduan arah pengembangan dan penguatan industri ke depan. Di sisi lain, profil risiko perusahaan pembiayaan masih terjaga dengan rasio non performing financing (NPF) gross tercatat sebesar 2,62% dan NPF net sebesar 0,81%.
OJK memproyeksikan NPF pada perusahaan pembiayaan akan tetap terjaga sesuai ketentuan yang berlaku baik sampai dengan akhir 2024 dan 2025 mendatang.
“Perusahaan pembiayaan pun dihimbau untuk memitigasi peningkatan kredit bermasalah antara lain melalui penilaian kelayakan pendanaan [credit scoring] yang lebih akurat,” tandas Agusman.