Bisnis.com, JAKARTA— Perusahaan PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF) atau Adira Finance merencanakan penerbitan obligasi dan sukuk pada 2025 sebagai bagian dari strategi pendanaan mereka.
Chief of Financial Officer Adira Finance, Sylvanus Gani M, mengungkapkan bahwa perusahaan berencana melakukan setidaknya dua hingga tiga kali penerbitan obligasi dan sukuk sepanjang tahun depan, yang merupakan langkah lanjutan setelah penerbitan sebelumnya.
“Untuk tahun depan, seperti tahun yang sebelumnya, kami setidaknya akan melakukan dua sampai tiga kali penerbitan obligasi dan sukuk,” kata Gani kepada Bisnis pada Kamis (26/11/2024).
Gani menjelaskan bahwa penerbitan obligasi merupakan salah satu instrumen yang digunakan oleh Adira Finance untuk mendukung pembiayaan. Saat ini, total outstanding pendanaan obligasi perusahaan mencapai sekitar Rp7 triliun.
Pada awal 2025, Gani menambahkan Adira Finance akan memulai dengan menyelesaikan sisa plafon Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) Obligasi VI Tahap 5.
“Proses penerbitan ini, yang dimulai pada akhir Desember 2024, diperkirakan akan berlangsung hingga Januari 2025,” kata Gani.
Baca Juga
Terakhir, Gani melihat bahwa proyeksi yang disampaikan oleh PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mengenai industri pembiayaan sejalan dengan pandangan Adira Finance, yang melihat penerbitan obligasi sebagai bagian penting dari pengelolaan sumber pendanaan perusahaan.
Sebelumnya, Fixed Income Analyst Pefindo Ahmad Nasrudin mengatakan penerbitan obligasi perusahaan multifinanca pada tahun depan akan tetap tinggi di tengah ekspektasi pemangkasan suku bunga.
Adapun ekspektasi tersebut didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, pemangkasan suku bunga yang akan memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, di mana kondisi tersebut akan mendorong permintaan terhadap jasa pembiayaan.
“Oleh karena itu, perusahaan multifinance akan melihat prospek yang lebih baik terhadap pendapatan mereka,” kata Ahmad kepada Bisnis, pada pekan lalu (19/12/2024).
Ahmad menambahkan bahwa dengan suku bunga yang lebih rendah, biaya pendanaan perusahaan pembiayaan juga akan turun. Hal ini diperkirakan akan meringankan beban operasional mereka, sehingga prospek profitabilitas multifinance di tahun depan diharapkan menjadi lebih baik.
Kedua, lanjut Ahmad, permintaan jasa pembiayaan yang lebih tinggi akan mendukung peningkatan pendanaan untuk modal kerja dan investasi. Dengan demikian, pihaknya pun memproyeksikan akan lebih banyak perusahaan multifinance menerbitkan surat utang untuk meraih pendanaan, selain dari bank.
“Bagaimanapun, bagi beberapa perusahaan multifinance, terutama yang besar dan memiliki peringkat tinggi, surat utang memungkinkan mereka mengumpulkan dana dengan lebih murah daripada meminjam ke bank,” katanya.
Ketiga, perusahaan multifinance cenderung akan memanfaatkan suku bunga lebih rendah untuk membiayai surat utang yang jatuh tempo. Dengan demikain, Ahmad memihat bahwa penerbitan pada tahun depan tidak hanya untuk kebutuhan modal kerja dan investasi.
“Bagaimanapun, surat utang yang jatuh tempo di tahun depan cukup tinggi. Sehingga, beberapa dari surat utang tersebut akan dibiayai kembali,” katanya.
Ahmad mengatakan pada tahun depan, ada peluang yang lebih besar untuk mengganti surat utang mahal dengan surat utang berbiaya lebih rendah karena suku bunga diekspektasikan turun. Adapun pada 2025 terdapat Rp29,70 triliun surat utang akan jatuh tempo dari industri multifinance, sebagian besar pada kuartal III/2025:
Maturity |
1Q |
2Q |
3Q |
4Q |
Total |
Multifinance |
8,046 |
5,381 |
10,017 |
6,258 |
29,702 |
Sumber: KSEI, diolah Pefindo
Namun demikian, Ahmad mengatakan ada beberapa faktor risiko perlu menjadi perhatian dan mungkin membuat ekspektasi peningkatan penerbitan pada tahun depan bisa saja tidak setinggi yang diharapkan.
Beberapa diantaranya yakni kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%, di mana menurut Ahmad pajak yang lebih tinggi akan mendorong naik harga barang-barang yang selama ini dibiayai melalui multifinance seperti mobil dan kendaraan bermotor lainnya. Dengan demikian, kenaikan tersebut berpotensi melemahkan permintaan terhadap produk tersebut, dan karena itu, terhadap jasa pembiayaan.
Kedua, Pemangkasan suku bunga yang lebih gradual. Menurut Ahmad, apabila suku bunga turun lebih lambat daripada yang diperkirakan, dampaknya terhadap akselerasi pertumbuhan ekonomi mungkin akan lebih kecil.
“Apalagi, faktor eksternal, terutama AS [Amerika Serikat], masih menjadi concern pasar. Baru-baru ini, ada concern bahwa suku bunga AS akan dipangkas lebih lambat daripada yang ekspektasikan, yang mana pada akhirnya mendorong fenomena “strong dollar”, yang memberikan tekanan terhadap rupiah dan membuat Bank Indonesia tidak akan memangkas secara agresif,” kata Ahmad.
Sejauh ini, Ahmad mengatakan suku bunga BI tidak berubah dari posisi awal tahun. Menurutnya pemangkasan 25 bps pada September 2024 sebenarnya hanya meng-offset kenaikan 25 bps pada April. “Jadi, suku bunga masih tinggi sebenarnya,” tambahnya.
Faktor lainnya nilai tukar, di mana ada ekspektasi nilai tukar akan tetap lemah karena dolar diasumsikan akan tetap kuat pada 2025.
“Kondisi ini juga akan mengekspos sektor-sektor yang sensitif terhadap nilai tukar, yang mana adalah ladang bagi pembiayaan multifinance,” tandas Ahmad.