Bisnis.com, JAKARTA -- Riset World Health Organization (WHO) mencatat indikator kesehatan probability of premature mortality from NCDs, atau indikator yang mengukur probabilitas seorang individu berusia 30 tahun akan meninggal sebelum usia 70 tahun akibat penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes, atau penyakit pernapasan kronis, di Indonesia mencapai 25%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata global yang hanya sebesar 19%.
Alexander Mahendrawan, Head of Product Development & Marketing Division Tokio Marine Life, menjelaskan bahwa meskipun Angka Harapan Hidup (AHH) di Indonesia terus meningkat dari 69,8 tahun pada 2010 menjadi 73,93 tahun pada 2023, risiko penyakit kritis tetap menjadi ancaman serius yang perlu diantisipasi.
"Meningkatnya prevalensi penyakit kritis merupakan tantangan besar, tetapi juga peluang bagi industri asuransi jiwa untuk menunjukkan perannya sebagai mitra masyarakat dalam menghadapi risiko ini," ujar Alexander kepada Bisnis, dikutip Minggu (12/1/2025).
Dalam laporan WHO disebutkan bahwa penyakit tidak menular (non-communicable diseases/NCDs), seperti penyakit kardiovaskular (termasuk serangan jantung), stroke, kanker, dan diabetes, menjadi penyebab utama kematian di Indonesia, menyumbang 52,2% dari total kematian.
Berdasarkan salah satu indikator kesehatan WHO, yakni probability of premature mortality from NCDs, yang mengukur probabilitas seorang individu berusia 30 tahun akan meninggal sebelum usia 70 tahun akibat penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes, atau penyakit pernapasan kronis, di Indonesia tercatat sebesar 25%. Padahal, rata-rata global hanya sebesar 19%.
"Perusahaan melihat meningkatnya risiko penyakit kritis ini sebagai peluang untuk meningkatkan edukasi masyarakat tentang pentingnya memiliki perlindungan asuransi sejak dini," tegasnya.
Baca Juga
Alexander melanjutkan, untuk mendukung keberlanjutan industri asuransi jiwa di tengah meningkatnya klaim akibat penyakit kritis, diperlukan regulasi yang adaptif untuk mendukung pengelolaan risiko penyakit kritis. Salah satu contohnya adalah penerapan underwriting berbasis data, yang menurutnya penting untuk meningkatkan akurasi seleksi risiko.
Proses ini memungkinkan penilaian risiko yang lebih spesifik berdasarkan riwayat kesehatan individu, sehingga premi yang dibayarkan menjadi lebih adil dan perlindungan yang diberikan optimal bagi nasabah.
"Regulasi tentang pengendalian biaya medis menjadi krusial di tengah meningkatnya beban klaim. Misalnya, diperlukan juga regulasi untuk penetapan tarif maksimal di rumah sakit serta penerapan clinical pathway yang terstandarisasi. Langkah ini dapat membantu mengendalikan biaya perawatan penyakit kritis, sehingga klaim dapat dikelola secara lebih efisien tanpa mengurangi kualitas pelayanan kesehatan yang diterima oleh nasabah," tegasnya.
Dalam hal dukungan regulasi, Alexander menilai peran asosiasi seperti Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) sangat penting. AAJI, lanjutnya, bersama industri asuransi terus berdialog dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Kesehatan, dan rumah sakit swasta untuk merumuskan regulasi yang mendukung pengelolaan klaim asuransi kesehatan secara lebih efektif.
"Dengan meningkatnya risiko NCDs sebesar 25% di Indonesia, Tokio Marine Life, melalui produk standalone TM Critical Guard, menawarkan perlindungan yang dirancang untuk menjawab tantangan tersebut," ujar Alexander kepada Bisnis, dikutip Minggu (12/1/2025).
Dia menjelaskan bahwa dengan masa perlindungan hingga 20 tahun dan masa pembayaran premi selama 8 tahun, TM Critical Guard memberikan manfaat komprehensif melalui solusi 3P, yaitu pengganti pendapatan (income replacement), perlindungan jiwa, serta pengembalian premi (return of premium/ROP) yang memastikan premi yang telah dibayarkan kembali kepada nasabah di akhir masa pertanggungan.