Bisnis.com, JAKARTA - Sungguh, 2025 menjadi tahun tantangan berat bagi bank sekalipun pemerintah telah menegaskan bahwa kenaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% hanya untuk barang mewah efektif 1 Januari 2025.
Apa saja tantangan bank pada 2025? Bagaimana likuiditas bank di tengah penebalan ketidakstabilan ekonomi global?
Mari kita tengok dulu kinerja bank umum. Statistik Perbankan Indonesia yang terbit 7 Januari 2025 menunjukkan kredit tumbuh dari 9,74% per November 2023 menjadi 10,79% per November 2024 (YoY) dari Rp6.966 triliun menjadi Rp7.717 triliun.
Pertumbuhan kredit itu berada di rentang target pertumbuhan kredit menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 9%—11% pada 2024. Pada 2025, OJK dan Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan kredit 11%—13%. Dana pihak ketiga (DPK) pun naik dari 3,04% menjadi 7,54% dari Rp8.216 triliun menjadi Rp8.836 triliun.
Konsekuensi logisnya, loan to deposit ratio (LDR) menebal dari 84,78% menjadi 87,34% dalam ambang batas 78%—92%. Dengan bahasa lebih bening, bank dapat dikatakan cukup agresif dalam menyalurkan kredit.
Sayangnya, imbal hasil aset (return on assets/ROA) menipis dari 2,72% menjadi 2,69%. Meskipun kualitas aset menurun tetapi masih jauh di atas ambang batas 1,5%. .
Baca Juga
Lantas, apa saja tantangan bank? Bagaimana pula jurus ampuh dalam menghadapi tantangan pada 2025?
Pertama, akhirnya Presiden Prabowo menegaskan kenaikan PPN hanya berlaku bagi barang mewah seperti pesawat jet pribadi, kapal pesiar (yacht), rumah yang amat mewah. Jika tidak, kenaikan pajak itu akan membebani masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah lantaran harga barang dan jasa bakal naik. Hal itu bisa mendorong kenaikan inflasi yang makin menggembosi daya beli masyarakat.
Masalahnya, harga kebutuhan pokok sudah melejit lebih dulu. Harga telur naik dari Rp28.000 menjadi Rp33.000 per kg. Harga beras naik dari Rp13.000 menjadi Rp16.000 per kg. Harga minyak goreng kemasan bersubsidi naik hingga Rp17.000 per liter. Harga cabai rawit naik dari Rp40.000 menjadi Rp80.000 per kg (Kompas, 2/1/25).
Inilah tugas pemerintah untuk mengendalikan harga kebutuhan pokok. Bagaimana kiatnya? Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kecukupan kebutuhan pokok di seluruh Indonesia.
Kedua, ingat bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok itu dapat mengerek inflasi. Kini inflasi mencapai 1,57% per akhir Desember 2024 naik dari 1,55% per November 2024. Tetapi, angka itu masih jauh di bawah target inflasi 2,5% plus minus 1% pada 2024.
Ketiga, kini bank BUMN menghadapi tantangan hapus tagih kredit macet UMKM sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 47/2024 tentang Penghapusan Piutang Macet UMKM.
PP itu adalah aturan turunan dari UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) efektif 12 Januari 2023. UU itu menitahkan piutang macet pada bank dan/atau lembaga keuangan non-bank BUMN kepada UMKM dapat dilakukan penghapusbukuan dan penghapustagihan untuk mendukung kelancaran pemberian akses pembiayaan kepada UMKM (pasal 250 ayat 2).
Pasal 251 menegaskan kerugian oleh bank dan/atau lembaga keuangan nonbank BUMN dalam melaksanakan penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang merupakan kerugian bank dan/atau lembaga keuangan non-bank BUMN bersangkutan (ayat 1).
Kerugian tersebut bukan merupakan kerugian keuangan negara sepanjang dapat dibuktikan tindakan dilakukan berdasarkan iktikad baik, ketentuan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. (ayat 2). Direksi dalam melaksanakan penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian yang terjadi (ayat 3).
Selama ini, belum ada Peraturan OJK yang mengatur hapus tagih kredit macet UMKM untuk bank BUMN. Tegasnya, bank BUMN wajib memegang prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan titah tersebut.
Keempat, tantangan berikutnya adalah bank wajib membayar premi mulai 1 Januari 2025 sebagai Program Restrukturisasi Perbankan (PRP). Hal itu tertuang pada PP No. 34/2023 tentang Besaran Bagian Premi untuk Pendanaan Program Restrukturisasi Perbankan sebagai aturan turunan dari UU P2SK.
Aturan itu bertujuan agar penanganan permasalahan bank diutamakan dengan menggunakan sumber daya bank itu dan dari industri perbankan. Celakanya, ketika premi itu akan dibebankan kepada nasabah. Akibatnya, suku bunga kredit akan lebih tinggi. Namun, OJK masih tenang-tenang belum menegaskan bahwa premi akan segera berlaku.
Kelima, selain itu, jangan sampai bank menderita risiko likuiditas. Risiko likuiditas adalah risiko kerugian yang muncul akibat ketidakmampuan dalam memenuhi kewajiban pembayaran secara penuh dan tepat waktu ketika jatuh tempo.
Sebelumnya, OJK telah meluncurkan dua Peraturan OJK (POJK) yakni POJK No. 19/2024 efektif 1 November 2024 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity coverage ratio/LCR) bagi bank umum. Satu lagi POJK No. 20/2024 efektif 1 November 2024 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net stable funding ratio/NSFR) bagi bank umum.
Untunglah, kini LCR dan NSFR masing-masing di level 222,70% dan 129,50%. Rasio itu menyiratkan ketahanan likuiditas jangka pendek dan pendanaan jangka panjang ke depan tetap solid.
Keenam, tetapi bank wajib melakukan uji tes (stress test) secara berkala. Uji tes adalah pengujian daya tahan untuk menentukan batas kritis dalam kondisi kritis pada industri perbankan. Hal itu bertujuan final untuk membentengi diri dari risiko likuiditas.
Nah, dengan aneka jurus ampuh demikian, bank bakal tetap gemerincing pada 2025 di tengah tantangan yang kian tinggi.