Bisnis.com, JAKARTA – PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) membeberkan terdapat 27 perusahaan asuransi umum yang terdampak oleh ketentuan ekuitas minimum Rp250 miliar.
Adapun, ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 20/2023. Ekuitas minimum menjadi syarat yang harus dipenuhi agar perusahaan asuransi dapat memasarkan produk asuransi dan suretyship.
Fankar Umran, Direktur Utama Askrindo menjabarkan berdasarkan data IFG Progress (2024) saat ini terdapat 72 perusahaan asuransi umum konvensional, dengan sebanyak 27 perusahaan masih memiliki modal di bawah Rp250 miliar.
Fankar mengatakan memang sebanyak 27 perusahaan ini menyumbang market share premi asuransi umum hanya sebesar 10%, tetapi dari total pemain yang ada jumlahnya cukup signifikan.
"Kelompok ini lah yang sangat terdampak terhadap permodalan yang Rp250 miliar. Padahal dia ini lah kelompok yang paling banyak, ada 27 dari 72 atau 37,5%. Seperti yang disampaikan Pak Budi [Ketua Umum AAUI], saya menegaskan saja, bahwa memang kalau tentang permodalan lebih banyak yang mengalami kesulitan dibanding yang tidak kesulitan, ada 37,5%," kata Fankar dalam online webinar media asuransi, Kamis (30/1/2025).
Adapun di luar 27 perusahaan dari 72 perusahaan asuransi umum tersebut, sebanyak 17 perusahaan memiliki modal di atas Rp1 triliun dengan market share premi sebesar 62%.
Baca Juga
Selanjutnya, ada tujuh perusahaan yang memiliki modal Rp500 miliar sampai Rp1 triliun dengan market share premi 9%. Sisanya, terdapat 21 perusahaan yang memiliki modal Rp250 miliar sampai Rp500 miliar dengan market share premi 19%.
Fankar melanjutkan, dalam asuransi kredit ini industri perlu mewaspadai adanya lagging spill over effect atau efek limpahan tertunda. Menurutnya, krisis ekonomi dapat berdampak terhadap memburuknya kualitas kredit dan meningkatnya rasio klaim asuransi yang terjadi pada kurun waktu tahun-tahun berikutnya. Atau dengan kata lain, setiap krisis ekonomi memberikan lagging spill over effect terhadap peningkatan rasio klaim asuransi kredit.
Dia mengatakan dampak dari krisis ekonomi yang disebabkan Covid-19 pada 2020 masih dirasakan dampaknya hingga saat ini. Hal itu terlihat dari peningkatan rasio klaim asuransi kredit dari 2019 hanya 61% menjadi 86% per kuartal III/2024.
Fankar memahami kondisi tersebut memang dibutuhkan perkuatan modal dari sisi industri asuransi. Namun, dia menegaskan mandatori penguatan modal tersebut juga harus dipastikan tetap dapat memberikan ruang tumbuh bagi setiap perusahaan asuransi.
"Itu tadi sebabnya memang dibutuhkan penguatan modal, tetapi penguatan modalnya harus kita sikapi bagaimana supaya semua asuransi bisa merasakan equal treatment sehingga bisa tetap hidup bersama-sama," pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan mengatakan pihaknya telah bersurat ke OJK meminta regulator memberikan relaksasi atas ketentuan ekuitas minimum di dalam POJK 20/2023.
"Kami dari AAUI sudah menyampaikan surat tertulis kepada regulator untuk meminta relaksasi waktu dan kiranya diberikan waktu audiensi untuk menjelaskan dampak terhadap POJK 20/2023 ini. Namun yang ada sampai saat ini kita bekum dapat waktu," kata Budi.
AAUI berharap OJK memberikan relaksasi bagi perusahaan asuransi umum yang memasarkan asuransi kredit dan suretyship agar mendapat kelonggaran waktu setidaknya sampai akhir 2026 seperti ketentuan di dalam POJK 23 Tahun 2023 yang mengatur ekuitas minimum tahap pertama yang harus dipenuhi perusahaan asuransi sebesar Rp250 miliar.
"Tentu kalau hal ini OJK tidak memberikan relaksasi, bagaimana nasib mereka. Ini kita perjuangkan agar teman-teman yang ekuitasnya masih [di bawah] Rp250 miliar bisa diberikan relaksasi waktu paling tidak disamakan dengan pemenuhan ekuitas di 2026. Karena apa, tentunya kita tahu PSAK 117 tahun ini kita masuk masa paralelisasi bahwa kita belum tahu dari semua anggota AAUI bagaimana hasilnya," tegasnya.