Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan pertumbuhan aset dana pensiun sebesar 9-11% pada 2025. Mengacu kinerja di 2024, target tersebut nampaknya cukup berat.
Total aset dana pensiun per Desember 2024 tumbuh sebesar 7,31% year on year (yoy), dengan nilai mencapai Rp1.508,21 triliun. Rincianya, dana pensiun pensiun sukarela mencatatkan pertumbuhan total aset 3,75% yoy dengan nilai mencapai Rp382,54 triliun.
Untuk program pensiun wajib, yang terdiri dari program jaminan hari tua dan jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan, serta program tabungan hari tua dan akumulasi iuran pensiun, ASN, TNI, dan POLRI, total aset mencapai Rp1.125,67 triliun atau tumbuh sebesar 8,58%.
Syarif Yunus, Asesor Kompetensi LSP Dana Pensiun menyoroti pertumbuhan mini pada peserta dana pensiun sukarela menjadi ganjalan tersendiri. Dana pensiun sukarela ini terdiri dari Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) Program Manfaat Pasti (PPMP) dan DPPK Program Iuran Pasti (PPIP).
Secara total, peserta dana pensiun sukarela per Desember 2024 mencapai 4,10 juta jiwa, turun 1,2% year on year (yoy). Rinciannya, peserta DPLK mencapai 2,86 juta jiwa, turun 1,2% yoy. Kemudian disusul peserta DPPK PPMP sebanyak 850.258 jiwa yang juga turun 4,1% yoy, dan peserta DPPK PPIP sebanyak 381.023 jiwa, tumbuh 5% yoy.
Dalam perkembangan dana pensiun di Indonesia, Syarif merunut pada medio 2010 sampai 2015 terjadi penguncian peserta dana pensiun khususnya di DPPK PPMP. Alhasil, dari periode tersebut tidak ada penambahan peserta baru dari segmen tersebut. Alasannya adalah model PPMP dianggap menjadi beban bagi perusahaan pendiri.
Baca Juga
"Makannya OJK mendorong PPMP dikonversi ke PPIP. Nah kalau DPPK PPMP dia mau bikin juga PPIP, itu potensi kepesertaan bisa bertambah. Karena tadi yang 2011 misalnya tadi kan belum ada program itu. Nah, kalau dia diikutkan, dia buka PPIP, lalu si [calon peserta] yang 2011 sampai ke tahun 2025 ini, rekerutan baru, itu bisa dimasukin ke PPIP," kata Syarif kepada Bisnis, dikutip Selasa (18/2/2025).
Dalam kepesertaan DPPK, pekerja yang bekerja di perusahaan pendiri dana pensiun menurut Syarif otomatis akan masuk menjadi peserta DPPK. Itu artinya, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi juga punya andil peserta dana pensiun terpangkas.
Dengan demikian, Syarif memastikan jumlah peserta DPPK akan otomatis bertambah seiring adanya serapan tenaga kerja. Sayangnya, yang terjadi sebaliknya. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang 2024 lalu terjadi sekitar 80.000 PHK pekerja. Angkanya meningkat dibanding sepanjang 2023 yang berkisar 60.000 orang.
Dengan kondisi yang demikian, DPLK diharapkan menjadi solusi menarik jumlah peserta. Namun Syarih memberi catatan, bahwa selama ini DPLK cenderung menyasar peserta korporasi, yang pada akhirnya mereka bisa terimbas dari maraknya kasus PHK. Padahal kepesertaan DPLK bisa dari pekerja formal maupun informal, dan mereka bisa mendaftar sebagai peserta pekerja individu.
"Kalau kita menyasar kepada individual pekerja, baik itu formal maupun informal, saya punya keyakinan masih ada ruang [pertumbuhan]. Nah, bagaimana membuka ruang itu, saya masih percaya dua hal, edukasi dan digitalisasi," kata Syarif.
Soal edukasi Syarif memastikan semua pemegang kepentingan dan para pelaku industri gencar melakukannya. Namun dalam hal digitalisasi, Syarif mencatat banyak PR besar yang harus dituntaskan. Misalnya, DPLK yang menyediakan kanal digital untuk pembelian produk dana pensiun masih segelintir pemain.
"Misal yang saya tahu itu BRImo, sudah bisa beli DPLK BRI. BNI saja belum bisa dengan Wondr-nya, itu yang kategorinya super apps loh. Kalau super apps kan menurut saya punya captive. Captive-nya adalah member banknya dia. Nah, apalagi yang lain-lain. Setingkat DPLK Manulife yang multinasional besar pun, itu nggak bisa beli online," ujarnya.
Atas persoalan itu Syarif meragukan masalahnya ada pada demand atau kebutuhan pekerja. Pasalnya, Syarif telah melakukan survei secara mandiri kepada 100 pekerja di Jakarta. Hasilnya, 60% pekerja berkenan untuk membayar iuran dana pensiun Rp100.000 sampai Rp500.000 per bulan. Sisanya, 20% berkenan membayar di bawah Rp100.000 dan 20% lagi berkenan membayar di atas Rp500.000.
"Memang survei saya cuma 100 pekerja di Jakarta, buat saya tahu itu representatif atau tidak memang perlu kajian yang lebih. Tapi saya kalau mau potret, kalau bilang orang tidak mau secara individual beli di DPLK, saya sudah potret dengan 100 orang itu, 60% di Rp100.000 sampai Rp500.000, dan menurut saya itu worth it," pungkasnya.