Bisnis.com, JAKARTA — Survei Orientasi Bisnis Perbankan OJK (SBPO) Triwulan I/2025 menunjukkan keyakinan tinggi industri perbankan terhadap prospek bisnis tahun ini. Indeks Orientasi Bisnis Perbankan (IBP) mencapai angka 66, menandakan sektor perbankan berada dalam zona optimisme.
Ekspektasi terhadap stabilitas makroekonomi domestik, prediksi penurunan suku bunga acuan, dan momentum konsumsi yang meningkat akibat Ramadan serta Idulfitri menjadi faktor utama yang menopang keyakinan ini.
Selain itu, Indeks Ekspektasi Kinerja (IEK) yang mencapai 74 mencerminkan perkiraan pertumbuhan kredit tetap tinggi, didorong oleh meningkatnya permintaan dari sektor riil. Respons positif ini juga terlihat dari strategi yang diadopsi oleh berbagai bank, termasuk PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (Danamon), yang siap mengoptimalkan peluang di tengah dinamika ekonomi global.
Chief Strategy Officer Danamon Reza Iskandar Sardjono mengatakan bahwa pihaknya optimistis terhadap prospek perekonomian Indonesia yang terus menunjukkan ketahanan di tengah ketidakpastian global.
“Kami yakin bahwa tahun 2025 membuka ruang pertumbuhan yang lebih tinggi, didukung oleh penurunan suku bunga acuan BI dibandingkan 2024 serta berbagai inisiatif strategis pemerintah,” kata Reza kepada Bisnis pada Senin (10/3/2025).
Lebih lanjut, Reza menyoroti bahwa optimisme sektor perbankan turut dipengaruhi oleh perbaikan sejumlah indikator makroekonomi, di antaranya adalah peningkatan peredaran uang luas (M2), penguatan inflasi inti, ekspansi pada PMI manufaktur, serta cadangan devisa yang mencapai tingkat tertinggi.
Selain itu, kebijakan retensi Devisa Hasil Ekspor (DHE) SDA 100% juga menjadi faktor pendukung stabilitas ekonomi. Dari sisi konsumsi masyarakat, tren peningkatan permintaan di awal tahun didorong oleh momentum Ramadan dan Idulfitri.
Reza menjelaskan bahwa hal ini diperkuat dengan kenaikan upah minimum provinsi (UMP), pemulihan tingkat tabungan konsumen, serta stimulus fiskal yang diberikan pemerintah, khususnya untuk sektor otomotif dan properti.
“Dukungan pemerintah dalam menjaga daya beli, seperti diskon tiket penerbangan kelas ekonomi dan potongan tarif jalan tol, turut berkontribusi dalam mempertahankan optimisme konsumsi masyarakat,” tambahnya.
Meskipun optimistis, Danamon tetap memperhatikan potensi tantangan dari dinamika ekonomi global. Reza mengakui bahwa perang dagang dan tensi geopolitik dapat memicu fluktuasi nilai tukar, suku bunga, serta harga komoditas.
“Bank Dunia mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi global di 2,7%, namun memperkirakan perlambatan pertumbuhan di AS dan Tiongkok ke 2,3% dan 4,5% akibat siklus tarif balasan. Dinamika ini menjaga inflasi AS tetap tinggi, membatasi ruang pemotongan suku bunga The Fed, dan memperkuat nilai tukar dolar AS. Sementara itu, perlambatan ekonomi Tiongkok diproyeksikan menekan harga komoditas global hingga -5,1% di 2025, menjadi tantangan bagi negara eksportir seperti Indonesia,” paparnya.
Namun demikian, sektor perbankan tetap memiliki pendorong pertumbuhan yang solid. Kebijakan pro-pertumbuhan seperti peningkatan insentif pemotongan Giro Wajib Minimum (GWM) dari 4% ke 5%, alokasi Kredit Likuiditas Makroprudensial (KLM) sebesar Rp259 triliun, serta stimulus fiskal diperkirakan dapat menopang ekonomi nasional.
“Dukungan tersebut hadir melalui keterkaitan kredit perbankan dengan sektor konstruksi, properti, manufaktur, perdagangan besar dan eceran, serta makanan dan minuman,” tambah Reza.
Dalam menghadapi 2025, Danamon akan terus mengoptimalkan ekosistem Grup MUFG dan empat lini bisnis utama, yaitu Enterprise Banking & Financial Institution, Small Medium Enterprise (SME), Consumer Banking, dan Adira Finance.
“Ke depannya, Danamon juga akan terus berfokus membangun dominasi dalam ekosistem yang ditargetkan, seperti Otomotif, Haji dan Umrah, Pendidikan, dan Real Estat, serta dengan memanfaatkan proposisi Grup MUFG yang unik,” pungkas Reza.