Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

APPI Keluhkan Pasar Leasing RI yang Sepi Dihantam Ketidakpastian Ekonomi

Ketua APPI mengatakan ketidakpastian ekonomi global tahun ini salah satunya disebabkan oleh kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Karyawan beraktivitas di kantor Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Jakarta, Selasa (6/9/2022). Bisnis/Abdurachman
Karyawan beraktivitas di kantor Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Jakarta, Selasa (6/9/2022). Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) melihat tahun ini ada tantangan besar dari ketidakpastian ekonomi global. Hal itu terjadi justru ketika pasar multifinance di segmen otomotif sedang lesu.

Suwandi Wiratno, Ketua APPI mengatakan kekacauan ekonomi global tahun ini salah satunya disebabkan oleh kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

"Kita sebenarnya sebelum adanya gunjang-ganjing ini pun juga sudah merasakan sangat sepi pasar. Artinya sepi pasar ini sebenarnya kita merasakan lebih awal terkait dengan daya beli. Daya beli ini di tahun 2024, di awal-awal tahun 2024 saja kita sudah merasakan," kata Suwandi kepada Bisnis, Rabu (23/4/2025).

Suwandi mengatakan pada awal 2024 lalu lesunya daya beli tersebut masih bisa diperdebatkan karena faktor tahun politik Pemilihan Presiden yang terjadi pada Februari.

Namun data yang tidak bisa disangkal adalah sampai akhir tahun ternyata penjualan mobil secara wholesale turun 13,9% year on year (YoY) menjadi hanya 865.723 unit, dibanding realisasi pada 2023 sebanyak 1.005.802 unit.

Tren penurunan juga terlihat pada penjualan mobil secara ritel yang terkoreksi 10,9% YoY menjadi 889.680 unit dibanding penjualan mobil secara ritel pada periode 2023 sebanyak 998.059 unit.

"Ini sebenarnya kan sudah barometer, bahwa orang Indonesia, di industri saya kan banyak pembiayaan motor dan mobil. Orang kita kan polanya sebenarnya kalau mobilnya sudah 5 tahun diganti. Tapi kalau sekarang, tiba-tiba kayaknya nggak dilakukan karena pendapatan kita lagi turun, mungkin dananya lebih butuh bukan ke mobil. Itu yang terjadi," tegasnya.

Suwandi melanjutakan, barometer penurunan daya beli tersebut juga terefleksi dalam data penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) perbankan. 

Bank Indonesia (BI) mencaat jumlah DPK perorangan per Februari 2025 sebesar Rp3.998,7 triliun, turun dari posisi Januari 2025 lalu pada angka Rp4.012,3 triliun. Secara tahunan, jumlah DPK perorangan per Februari 2025 juga turun 1,8% YoY, setelah pada Januari 2025 juga kontraksi 3,4% YoY.

"Karena middle income ke bawah mereka bukan menabung, tapi memakan tabungannya. Itu mengindikasikan, oh iya benar, daya beli turun. Nah akhirnya dampaknya ke kita [industri multifinance], ke kita itu kredit mobil sangat turun dalam," ujarnya.

Suwandi mengatakan untuk segmentasi pembiayaan kendaraan roda dua memang masih menunjukkan pertumbuhan meski angkanya tipis di level 2%. Suwandi melihat tren pembiayaan kendaraan roda dua ini bisa berkorelasi kuat dengan kondisi lapangan kerja saat ini.

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah pekerja terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) pada periode Januari-Februari 2025 ada sebanyak 18.610 orang. Dalam sebulan, jumlah pekerja terdampak PHK bertambah lebih dari 15.000 orang di mana posisi per Januari 2025 angkanya baru sebesar 3.325 orang.

Maraknya pekerja dirumahkan itu menurut Suwandi juga berdampak pada kualitas kredit di industri multifinance.

"Artinya apa? Kembali, lapangan pekerjaan juga menjadi satu masalah tersendiri. Karena PHK banyak dan lain-lainnya. Nah ini mengganggu. Dengan ini mengganggu, di industri kita kan terjadi kenaikan non performing financing," ujarnya.

Adapun sejumlah lembaga dunia memangkas proyeksi mereka akan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025. The Asean+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) misalnya, memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 5,0% pada 2025, setelah sebelumnya memproyeksikan 5,2%. Sementara itu, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) proyeksinya jadi hanya sebesar 4,9%, dipangkas dari proyeksi awal 5,2%. 

Posisi industri multifinance yang kian sulit karena kondisi ekonomi ini menurut Suwandi bisa menjadi ganjalan mencapai proyeksi pertumbuhan pembiayaan multifinance tahun ini sebesar 8-10%.

"Jadi menurutkan proyeksi ekonomi Indonesia itu wajar. Nah kita, apakah juga secara proyeksi akan terjadi penurunan? Pasti. Kita melihat 3 bulan ini kalau cuma hanya [tumbuh] 5-6%, mungkin itu yang menjadi barometer kita pertumbuhan mungkin tidak bisa lagi di 8-10%, tapi mungkin 6-8%. Itu pun optimis kalau bisa 8%," pungkasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper