Bisnis.com, JAKARTA — Tekanan terhadap net interest margin (NIM) terus membayangi industri perbankan Indonesia pada awal 2025. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), NIM perbankan turun menjadi 4,45% per April 2025, dari 4,81% pada Desember 2023.
Di tengah tren tersebut, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) menyatakan bahwa pihaknya tetap menjaga fundamental bisnis secara pruden dengan mengandalkan efisiensi biaya dana dan pertumbuhan kredit berkualitas tinggi.
“Dalam melihat profitabilitas suatu bank, NIM hanya merupakan salah satu komponen indikator, yang belum memperhitungkan pendapatan non-bunga, biaya operasional, dan pencadangan kredit,” ujar Hera F. Haryn, Executive Vice President Corporate Communication & Social Responsibility BCA, kepada Bisnis, Selasa (3/6/2025).
Hera menjelaskan bahwa NIM BCA tercatat masih solid di angka 5,8% pada kuartal I/2025. Kinerja tersebut ditopang oleh perbaikan komposisi aset produktif seiring dengan meningkatnya volume kredit, serta cost of fund yang relatif terjaga berkat kekuatan BCA di layanan perbankan transaksi.
“Kami melihat pergerakan NIM ke depan akan sangat dipengaruhi oleh permintaan kredit, tren suku bunga, dan kondisi likuiditas. Kinerja industri perbankan pada umumnya bergerak sejalan dengan kondisi ekonomi nasional,” tambahnya.
BCA menegaskan akan terus memperkuat penyaluran kredit secara selektif ke berbagai segmen dan sektor produktif sebagai bagian dari strategi pertumbuhan yang berkelanjutan. Per Maret 2025, total kredit yang disalurkan BCA tumbuh 12,6% secara tahunan (year on year/YoY) menjadi Rp941 triliun—lebih tinggi dari rata-rata industri.
Baca Juga
“Pertumbuhan kredit ini tetap dilakukan secara pruden, dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko yang disiplin,” kata Hera.
Adapun tekanan terhadap NIM di industri disebabkan oleh kombinasi faktor struktural, seperti ketatnya kompetisi dana, lambatnya transmisi penurunan suku bunga, serta terbatasnya permintaan kredit berkualitas. OJK juga menyoroti pergeseran likuiditas ke pasar surat berharga, termasuk SRBI dan SBN, yang turut menekan ruang perbankan untuk menurunkan cost of fund.
Meski demikian, Hera menegaskan bahwa BCA tetap menjaga kekuatan fundamental, terutama dari sisi permodalan dan likuiditas. Hal ini menjadi fondasi penting dalam menyerap potensi risiko baru dan memastikan ketahanan bank di tengah dinamika ekonomi yang masih penuh ketidakpastian.
“BCA senantiasa mempertahankan posisi permodalan dan likuiditas yang solid guna menghadapi dinamika makroekonomi. Ini menjadi landasan penting bagi pertumbuhan kredit yang berkualitas dan berkesinambungan,” pungkas Hera.