Bisnis.com, JAKARTA — Perkembangan arah kebijakan antara tingkat bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) mengalami perubahan. Apa penyebab dan dampaknya?
Terbaru, LPS menetapkan pemangkasan tingkat bunga penjaminan (TBP) simpanan rupiah sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,00% untuk bank umum dan 6,50% untuk BPR. Sementara itu, BI tetap mempertahankan suku bunga acuannya (BI Rate) pada level 5,50%.
Dengan demikian, disparitas atau perbedaan saat ini antara TBP LPS untuk simpanan rupiah pada bank umum dengan BI Rate sebesar 150 basis poin dengan besaran bunga penjaminan berada di bawah BI Rate.
Kondisi ini memperpanjang tren sejak 2022, di mana bunga penjaminan LPS mulai berada di bawah suku bunga acuan BI. Padahal, pada periode sebelum pandemi hingga sekitar 2021, bunga penjaminan LPS cenderung berada di atas BI Rate.
Jika ditilik ke belakang, sepanjang periode Januari 2019 hingga Juli 2021, tingkat bunga penjaminan LPS untuk simpanan rupiah di bank umum berada di atas BI Rate dengan perbedaan antara 50 bps hingga 125 bps. Pada periode September 2021 hingga Mei 2022 keduanya berada dalam level yang sama, sebesar 3,50%.
Kemudian, pergerakan TBP LPS berada di bawah BI Rate dimulai pada kisaran kuartal IV/2022 atau pada bulan Oktober saat TBP simpanan rupiah bank umum sebesar 3,75% dibanding bunga acuan sebesar 4,75%. Dengan demikian terdapat perbedaan sebesar 100 bps.
Sejak itu hingga kini, TBP LPS selalu di bawah BI Rate dengan perbedaan terbesar 200 bps pada periode April 2024 hingga Agustus 2024, dengan bunga penjaminan simpanan rupiah di bank umum sebesar 4,25% dan suku bunga acuan sebesar 6,25%.
Menanggapi fenomena ini, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa penentuan TBP tidak serta-merta mengikuti BI Rate, tetapi mempertimbangkan kondisi sistem perbankan dan perekonomian nasional. “Saat ini kondisinya membuat suku bunga LPS berada di bawah BI. Ke depan, tergantung situasi,” kata Purbaya kepada Bisnis, Selasa (15/7/2025).
Purbaya sebelumnya juga menyampaikan keputusan pemangkasan tersebut diambil sejalan dengan momentum kinerja intermediasi perbankan dan pertumbuhan ekonomi yang perlu dijaga dengan proyeksi likuiditas ke depan dan ruang tambahan pengelola suku bunga bank, serta penguatan sinergi otoritas, termasuk efektivitas transmisi kebijakan suku bunga.
Dia bilang bahwa pemangkasan tingkat bunga penjaminan LPS ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia yang menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin dari 5,75% menjadi 5,50%. Bank sentral juga menurunkan suku bunga Deposit Facility menjadi 4,75% dan suku bunga Lending Facility tetap 6,25%.
Namun, disparitas antara bunga penjaminan dan BI Rate ini memunculkan kekhawatiran. Head of Research Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan menilai bahwa gap tersebut dapat berdampak pada perilaku deposan dan risiko sistemik.
“Apabila bunga simpanan bank lebih tinggi dari bunga penjaminan LPS, maka simpanan nasabah bisa tidak dijamin. Ini membuat nasabah cenderung memindahkan dana ke bank besar yang dianggap lebih aman,” sebut Trioksa kepada Bisnis.
Selain itu, lanjut Trioksa, suku bunga simpanan yang tinggi akan menekan bank untuk menetapkan bunga kredit yang juga tinggi, sehingga berpotensi meningkatkan risiko kredit.
Trioksa menilai, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, idealnya tingkat bunga penjaminan tidak jauh dari BI Rate, atau bahkan berada dalam level yang sama. “Dengan begitu, bank tetap punya ruang kompetitif tanpa meningkatkan risiko yang berlebihan,” katanya.
Adapun, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan bahwa keputusan untuk mempertahankan BI Rate di level 5,50% pada Rapat Dewan Gubernur Juni 2025 sejalan dengan upaya menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi di tengah ketidakpastian global.
"Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati ruang penurunan BI-Rate guna mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan tetap mempertahankan inflasi sesuai dengan sasarannya dan stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya," kata Perry saat itu.
Seiring dengan hal ini, Perry juga menyebut bahwa kebijakan makroprudensial akomodatif terus dioptimalkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan berbagai strategi untuk mendorong pertumbuhan kredit dan meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas oleh perbankan.