Bisnis.com, JAKARTA - Pergerakan tingkat bunga penjaminan (TBP) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atau sering disebut LPS Rate yang saat ini berada di bawah suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate memunculkan kekhawatiran terkait perilaku deposan dan persaingan antar kelompok bank.
Saat ini, LPS Rate berada pada level 4,00% untuk bank umum dan 6,50% untuk BPR. Sementara, BI baru saja memangkas suku bunga acuan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 5,25% pada RDG Juli 2025. Dengan demikian, terdapat selisih 125 bps antara BI Rate dengan LPS Rate untuk simpanan di bank umum.
Kondisi ini memperpanjang tren sejak 2022, di mana bunga penjaminan LPS mulai berada di bawah suku bunga acuan BI. Padahal, pada periode sebelum pandemi hingga sekitar 2021, bunga penjaminan LPS cenderung berada di atas BI Rate.
Jika ditilik ke belakang, sepanjang periode Januari 2019 hingga Juli 2021, tingkat bunga penjaminan LPS untuk simpanan rupiah di bank umum berada di atas BI Rate dengan perbedaan antara 50 bps hingga 125 bps. Pada periode September 2021 hingga Mei 2022 keduanya berada dalam level yang sama, sebesar 3,50%.
Kemudian, pergerakan TBP LPS berada di bawah BI Rate dimulai pada kisaran kuartal IV/2022 atau pada bulan Oktober saat TBP simpanan rupiah bank umum sebesar 3,75% dibanding bunga acuan sebesar 4,75%. Dengan demikian terdapat perbedaan sebesar 100 bps.
Sejak itu hingga kini, TBP LPS selalu di bawah BI Rate dengan perbedaan terbesar 200 bps pada periode April 2024 hingga Agustus 2024. Saat itu bunga penjaminan simpanan rupiah di bank umum sebesar 4,25% dan suku bunga acuan sebesar 6,25%.
Kondisi LPS Rate yang berada di bawah BI Rate ini memunculkan kekhawatiran. Head of Research Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan menilai bahwa gap tersebut dapat berdampak pada perilaku deposan dan risiko sistemik.
“Apabila bunga simpanan bank lebih tinggi dari bunga penjaminan LPS, maka simpanan nasabah bisa tidak dijamin. Ini membuat nasabah cenderung memindahkan dana ke bank besar yang dianggap lebih aman,” sebut Trioksa kepada Bisnis.
Selain itu, lanjut Trioksa, suku bunga simpanan yang tinggi, sebagai dampak dari upaya bank bersaing mendapatkan dana pihak ketiga, akan menekan bank untuk menetapkan bunga kredit yang juga tinggi, sehingga berpotensi meningkatkan risiko kredit.
Trioksa menilai, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, idealnya tingkat bunga penjaminan tidak jauh dari BI Rate, atau bahkan berada dalam level yang sama. “Dengan begitu, bank tetap punya ruang kompetitif tanpa meningkatkan risiko yang berlebihan,” katanya.
Jika melihat data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) OJK pada Maret 2025, terlihat bahwa bank-bank yang berada di kelompok KBMI 1 dan 2 memiliki suku bunga deposito yang lebih tinggi dibandingkan kelompok bank besar. Bahkan bank-bank kecil ini memiliki bunga deposito di atas 6%, jauh di atas LPS Rate untuk bank umum.
Bank KBMI 1 tercatat memiliki suku bunga deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan masing-masing sebesar 5,45%; 5,99%; 6,34%; dan 5,67% per tahun.
Bank KMBI 2 menetapkan suku bunga deposito untuk masing-masing tenor sebesar 5,70%; 5,95%; 6,59%; dan 6,13%. Sementara itu, bank dengan modal inti yang lebih tebal pada KBMI 3 tercatat menetapkan bunga deposito sebesar 5,14% untuk tenor 1 bulan, 5,80% untuk tenor 3 bulan, 5,88% untuk tenor 6 bulan, dan 5,09% untuk tenor 12 bulan.
Terakhir, bank jumbo atau KBMI 4 tercatat menetapkan bunga deposito tertinggi sebesar 5,68% untuk tenor 6 bulan, lalu diikuti tenor 3 bulan sebesar 5,36%, tenor 1 bulan sebesar 4,41%, dan tenor 12 bulan sebesar 3,26%.
Dari sisi pertumbuhan DPK, bank KBMI 2 mencatatkan kenaikan paling mini yaitu sebesar 2,66% YoY per Maret 2025, kemudian KBMI 1 sebesar 3,37% YoY. KBMI 3 membukukan pertumbuhan DPK sebesar 4,28% YoY dan peningkatan terbesar di KBMI 4 sebesar 5,75% YoY.
Adapun, mengenai kondisi LPS Rate saat ini, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa penentuan TBP tidak serta-merta mengikuti BI Rate, tetapi mempertimbangkan kondisi sistem perbankan dan perekonomian nasional. “Saat ini kondisinya membuat suku bunga LPS berada di bawah BI. Ke depan, tergantung situasi,” kata Purbaya kepada Bisnis, Selasa (15/7/2025).
Purbaya sebelumnya juga menyampaikan keputusan pemangkasan tersebut diambil sejalan dengan momentum kinerja intermediasi perbankan dan pertumbuhan ekonomi yang perlu dijaga dengan proyeksi likuiditas ke depan dan ruang tambahan pengelola suku bunga bank, serta penguatan sinergi otoritas, termasuk efektivitas transmisi kebijakan suku bunga.
Dia bilang bahwa pemangkasan tingkat bunga penjaminan LPS ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia. Pada RDG Bank Indonesia yang digelar 15-16 Juli 2025 memutuskan untuk menurunkan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 5,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,00%.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan keputusan ini konsisten dengan makin rendahnya prakiraan inflasi tahun 2025 dan 2026 dalam sasaran 2,5±1%, terjaganya stabilitas nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya, serta perlunya untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati ruang penurunan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap mempertahankan stabilitas nilai tukar Rupiah dan pencapaian sasaran inflasi sesuai dengan dinamika yang terjadi pada perekonomian global dan domestic," tuturnya.