Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah sedang menyiapkan mekanisme program penjaminan polis (PPP) asuransi oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang akan berlaku 2028. Beberapa ketentuan yang dibahas antara lain persyaratan perusahaan peserta penjaminan, lini usaha yang bisa dijamin, hingga limit polis yang bisa dijamin.
Ketua Bidang Produk, Manajemen Risiko, GCG Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Fauzi Arfan mengatakan bahwa dalam setiap diskusi yang AAJI lakukan bersama dengan LPS, asosiasi telah menyampaikan berbagai usulan misalnya untuk penjaminan LPS dapat memisahkan aset investasi (produk unit linked) dari pemegang polis untuk dikecualikan, sehingga yang menjadi objek penjaminan adalah unsur proteksi dari polis.
"Kemudian untuk besaran iuran keanggotaan dari perusahaan kepada LPS ini dapat ditinjau dari tingkat risikonya. Untuk perusahaan yang risikonya tinggi, maka perlu dikenakan iuran yang lebih tinggi juga. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya moral hazard," kata Fauzi kepada Bisnis, Selasa (29/7/2025).
AAJI berharap besaran iuran yang dibedakan berdasarkan risiko tersebut juga membuat jaminan yang dikeluarkan oleh LPS nantinya akan seimbang dengan nilai iuran yang dibayarkan.
Sementara itu, untuk keanggotaan awal AAJI menyarankan tingkat risk based capital (RBC) dapat menjadi salah satu indikator keanggotaan perusahaan. Namun demikian, Fauzi menyarankan LPS perlu melakukan pemantauan berkelanjutan kesehatan perusahaan sampai dengan penjaminan berlaku pada 2028, alias tidak mengacu pada laporan keuangan pada tahun tertentu.
Baca Juga
Adapun penjaminan polis asuransi akan menjadi tugas baru LPS yang selama ini hanya menjamin industri perbankan. Dalam ketentuan kerja sama LPS dan bank ini diatur premi penjaminan yang dibayarkan bank dilakukan dua tahun sekali, dengan besaran 0,1% dari dana pihak ketiga (DPK), sedangkan untuk limit penjaminan ditetapkan sebesar Rp2 miliar per nasabah per bank.
Untuk penjaminan asuransi, industri ini memiliki banyak lini usaha sehingga perlu menetapkan lini usaha apa saja yang bisa dijamin dan tidak bisa dijamin LPS.
Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan menilai penjaminan asuransi oleh LPS sebaiknya difokuskan terlebih dahulu pada produk-produk asuransi yang memberikan manfaat langsung kepada konsumen ritel, termasuk asuransi jiwa individu, asuransi kesehatan individu, serta produk-produk asuransi wajib yang bersifat massal dan memiliki fungsi perlindungan sosial.
"Untuk produk-produk komersial atau korporat, sebaiknya dikecualikan atau dipisahkan dalam skema tersendiri karena kompleksitas dan nilai pertanggungannya yang jauh lebih besar," kata Budi.
Sementara untuk mekanisme pembayaran premi penjaminan, Budi mengatakan saat ini pembahasannya masih dalam tahap koordinasi awal antara pelaku industri dan LPS. Dalam hal ini, Budi mengatakan pihaknya memahami bahwa akan ada diskusi lebih lanjut mengenai frekuensi, basis perhitungan, hingga pendekatan kontribusi yang adil.
Keputusan yang tepat dari diskusi panjang itu diharapkan akan mendukung keberlanjutan program penjaminan asuransi tanpa membebani pelaku usaha secara berlebihan.
Untuk limit penjaminan klaim, AAUI memandang pendekatan berbasis perlindungan konsumen akan sangat penting dengan tetap mempertimbangkan kapasitas fiskal LPS dan profil risiko industri asuransi.
"Sedangkan syarat bagi perusahaan yang dapat menjadi peserta penjaminan, menurut kami idealnya mengacu pada indikator kesehatan keuangan yang objektif, seperti kecukupan modal [RBC], kepatuhan terhadap pelaporan keuangan yang telah diadopsi sesuai PSAK 117, serta riwayat kepatuhan terhadap regulasi dan pengawasan OJK," tegasnya.
Adopsi Praktik Penjaminan Polis Luar Negeri
Praktik penjaminan polis asuransi sudah menjadi mekanisme yang lazim ditemukan di luar negeri, bahkan negara tetangga di kawasan Asean dan Asia. AAJI dan AAUI mencatat ada beberapa praktik penjaminan asuransi di beberapa negara yang bisa diadopsi di Indonesia.
Dalam catatan AAJI, beberapa negara di kawasan Asean telah lebih dulu mengimplementasikan sistem penjaminan asuransi, seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina. Ketiganya telah menjalankan skema ini lebih dari satu dekade dan dapat dijadikan Indonesia sebagai acuan.
"Misalnya, Malaysia memiliki PIDM (Perbadanan Insurans Deposit Malaysia) yang mencakup penjaminan polis asuransi jiwa dan umum. Mereka menerapkan pendekatan yang cukup matang dari sisi regulasi, struktur premi, serta strategi komunikasi publik, yang semuanya bisa menjadi referensi penting dalam menyusun skema penjaminan yang sesuai dengan konteks Indonesia," jelas Fauzi.
Sementara itu, AAUI mencontohkan praktik penjaminan asuransi di Korea Selatan. Di sana, penjaminan asuransi dilakukan oleh Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC), yang mencakup perlindungan terhadap produk asuransi jiwa dan kesehatan hingga batas tertentu.
Contoh lainnya, Malaysia melalui PIDM juga telah menerapkan skema perlindungan konsumen asuransi jiwa yang cukup maju, dengan pendekatan regulasi dan kontribusi yang proporsional terhadap risiko.
Budi menilai model-model di luar negeri tersebut dapat menjadi benchmark yang relevan bagi Indonesia, terutama dalam menyeimbangkan tujuan perlindungan konsumen dengan keberlanjutan fiskal dan stabilitas sistem keuangan.
"Kami di AAUI mendukung proses penyusunan kebijakan ini secara inklusif, dengan harapan penjaminan polis oleh LPS dapat menjadi elemen penguat kepercayaan masyarakat dan mendorong pertumbuhan industri asuransi yang lebih sehat, berdaya saing, dan berkelanjutan," tegas Budi.