Bisnis.com, JAKARTA— Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta untuk mengklarifikasi sektor perbankan yang memberikan fasilitas pinjamannya kepada perusahaan-perusahaan yang diduga membakar hutan dan lahan di Sumatra serta Kalimantan sehingga berdampak pada masyarakat.
Hal itu mencuat dalam diskusi Satu Tahun Evaluasi Kerja Kabinet Jokowi-JK Sektor Sumber Daya Alam di Jakarta. Norman Jiwon, Direktur Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia, mengatakan OJK dapat menanyakan terkait dengan perbankan yang berada di bawahnya mengenai kliennya yang terlibat dalam pembakaran hutan.
“OJK dapat mengklarifikasi soal perbankan, apakah benar. OJK dapat mendorong perlindungan lingkungan dan sosial,” kata Norman dalam diskusi tersebut, Kamis (29/10/2015).
Dia menuturkan pihak perbankan menjadi penting karena sektor itulah yang memberikan dana bagi perusahaan-perusahaan untuk melakukan ekspansinya. Hal itu, sambung Norman, juga terkait dengan upaya OJK dalam mendorong Pembiayaan Berkelanjutan di sektor perbankan.
Riset Profundo dan TUK Indonesia pada awal tahun ini menemukan sedikitnya 20 bank yang terdiri dari bank asing dan bank domestik terlibat dalam pembiayaan besar grup bisnis kelapa sawit. Semua bank itu memberikan pembiayaannya kepada perusahaan-perusahaan yang mengontrol separuh lahan sawit di Indonesia, dari total sekitar 10 juta hektare. Perusahaan sawit dan kertas diduga terlibat dalam pembakaran hutan.
Selain itu, Norman menuturkan bank juga dapat memberikan sanksi kepada kliennya dengan menilai kembali fasilitas investasi maupun pinjaman yang diberikan kepada perusahaan yang terlibat dalam pembakaran hutan. Setelah terbukti di pengadilan, kata dia, bank pun dapat mencabut semua fasilitasnya kepada korporasi tersebut.
“TUK Indonesia mendesak agar perbankan mencabut seluruh kontrak pinjaman dan fasilitas lainnya kepada perusahaan yang terbukti dalam kasus pembakaran hutan dan lahan,” katanya.
KORUPSI PERTAMBANGAN
Sementara itu, Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengungkapkan konflik lahan di sektor pertambangan menjadi catatan merah bagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Dia menuturkan konflik lahan justru semakin meningkat di area yang berdekatan dengan aktivitas pertambangan.
Menurutnya, persoalan tumpang tindih lahan masih terjadi dengan tidak adanya peta indikatif pemerintah. Selain itu, masalah pemberantasan korupsi di sektor pertambangan belum maksimal.
“Pemberantasan korupsi di sektor pertambangan masih minim,” kata Maryati dalam diskusi tersebut.
Direkorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM mencatat masih banyaknya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tak memiliki status CnC hingga kini, yakni sekitar 4.563 izin. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri sebelumnya meminta Kementerian ESDM untuk segera mencabut seluruh perizinan tersebut.
Walaupun demikian, Maryati mengungkapkan, pihaknya masih belum menemukan kemauan yang kuat oleh Kementerian ESDM untuk melakukan pencabutan terhadap izin bermasalah tersebut. “Kami tidak melihat kemauan politik yang kuat untuk menindak IUP non-CNC,” tegasnya.