BISNIS.COM, JAKARTA – Bank Indonesian meyakini pembalikan modal asing (capital reversal) akan mengalami penurunan pada beberapa pekan ke depan setelah mengalami puncak pada minggu kedua Juni.
Perry Warjiyo, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), mengatakan bank sentral meyakini puncak capital reversal akibat ketidakpastian pengurangan stimulus moneter AS (quantitative easing) telah terjadi pada minggu pertama sampai ketiga Juni lalu
“Total capital reversal pada minggu pertama sampai ketiga Juni mencapai Rp34 triliun. Puncaknya terjadi pada minggu kedua Juni dan terus menurun sampai saat ini,” ujarnya Jumat (21/6/2013).
Menurutnya, penyataan Gubernur The Fed Ben Bernanke tentang pengurangan QE mulai triwulan IV telah memberikan kejelaskan kepada pasar. “Atas dasar itu kami meyakini intensitas capital reversal pada beberapa pekan ke depan tidak sebesar minggu pertama sampai ketiga Juni,” ujarnya.
Dia menambahkan pengurangan QE oleh Amerika Serikat sebenarnya memiliki makna positif karena mencerminkan ekonomi negeri Paman Sam semakin membaik. Hal positif tersebut, tuturnya, akan merembet kepada negara lain yang selama ini menjadi mitra ekspor Indonesia, seperti China dan India.
“Hal ini akan membantu kinerja ekspor Indonesia karena permintaan dari sejumlah negara mitra dagang mulai pulih,” ujarnya.
Perry juga optimistis indikator ekonomi Indonesia akan semakin membaik karena beberapa faktor dalam negerio dan global. Indikator ekonomi tersebut a.l. penurunan defisit transaksi berjalan pada triwulan III, dibandingkan dengan triwulan I.
“Secara pola musiman defisit transaksi berjalan pada triwulan II memang lebih besar dari triwulan I, namun kamia meyakini defisit akan menurun pada triwulan III,” tuturnya.
Lebih rinci dia menjelaskan faktor penurunan defisit itu adalah kepastian penaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sehingga akan menurunkan impor minyak. Selain itu juga ada peningkatan ekspor akibat recovery ekonomi negara maju dan mitra dagang Indonesia.
“Faktor yang lain berasal dari global adalah penurunan capital reversal. Atas dasar itu kami meyakini Rupiah apresiasi pada tahun depan,” tuturnya.
Dody Budi Waluyo, Direktur Eksekutif Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI), mengatakan bank sentral optimistis dampak pengurangan quantitative easing AS tidak lebih besar daripada krisis ekonomi 2008 karena kondisi perekonomian global dan domestik.
Menurutnya, beberapa indikator ekonomi global tersebut adalah harga minyak dan komoditas saat ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan 2008. Selain itu, volume perdagangan dunia juga menurun akibat pelambatan ekonomi.
“Akan tetapi memang dari sisi makro tekanannya terjadi di hari ini relatif bisa mengganggu stabilitas, jika tidak ditangani secara cepat. Dan itu telah dilakukan oleh BI dan Pemerintah,” ujarnya.