Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Reasuransi BUMN, OJK Condong Pilih Opsi Merger

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) cenderung memilih opsi merger antara tiga perusahaan reasuransi BUMN dan anak-cucu BUMN untuk membentuk sebuah perusahaan reasuransi raksasa.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA—Otoritas Jasa Keuangan (OJK) cenderung memilih opsi merger antara tiga perusahaan reasuransi BUMN dan anak-cucu BUMN untuk membentuk sebuah perusahaan reasuransi raksasa.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad mengatakan saat ini merger merupakan opsi yang paling dominan di antara pilihan lainnya seperti mendirikan perusahaan reasuransi baru ataupun membesarkan PT Reasuransi Internasional Indonesia (Reindo) yang merupakan perusahaan reasuransi BUMN. Namun dia enggan menjelaskan alasannya.

“Saya kira salah satu opsi yang paling dominan saat ini yang dipikirkan adalah merger,” katanya di sela Investor Forum, Senin (11/11/2013).

Muliaman menambahkan saat ini pihaknya tengah berkomunikasi dengan Kementerian BUMN untuk merampungkan proses merger. Pembentukan perusahaan reasuransi hasil merger tersebut ditargetkan rampung pada akhir tahun ini dan mulai beroperasi pada awal 2014.

Sebelumnya, Menteri BUMN Dahlan Iskan menyatakan pihaknya telah menunjuk PT Asuransi Ekspor Indonesia (Asei) untuk menjadi holding perusahaan reasuransi BUMN yang akan melebur dengan PT Reasuransi Internasional Indonesia (Reindo), PT Reasuransi Nasional Indonesia (Nas Re) dan PT Tugu Reasuransi Indonesia (Tugu Re).

Dahlan bahkan mengancam akan memberhentikan siapapun pihak yang menentang rencana merger tersebut. “Kalau ada direksi yang tidak mau ya saya ganti,” katanya.

Wacana pembentukan perusahaan reasuransi raksasa muncul sejak beberapa tahun lalu, dilatarbelakangi oleh defisit neraca perdagangan asuransi akibat banyaknya premi reasuransi yang mengalir ke luar negeri akibat minimnya kapasitas reasuransi lokal.

Pembentukan sebuah perusahaan reasuransi besar dengan modal sekitar Rp2-3 triliun diharapkan dapat mengurangi hingga 50% dari defisit neraca perdagangan yang pada tahun ini diperkirakan mencapai sekitar Rp8 triliun-Rp10 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Ismail Fahmi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper