Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BI Bakal Lanjutkan Pengetatan Moneter

Bank Indonesia memberi sinyal tak akan melakukan pelonggaran moneter tahun ini mengingat tekanan eksternal masih cukup tinggi, sekalipun indikasi perbaikan ekonomi di dalam negeri mulai terlihat.

Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia memberi sinyal tak akan melakukan pelonggaran moneter tahun ini mengingat tekanan eksternal masih cukup tinggi, sekalipun indikasi perbaikan ekonomi di dalam negeri mulai terlihat.

Prospek pemulihan ekonomi Amerika Serikat mengundang konsekuensi penaikan suku bunga the Fed (Fed funds rate) meskipun bank sentral Negeri Paman Sam itu memberi sinyal belum akan menaikkan suku bunga yang dipatok ultrarendah 0%-0,25% sejak akhir 2008.

Deputi Senior Gubernur BI Mirza Adityaswara mengatakan suku bunga the Fed memang belum naik, tetapi arah itu bakal terlihat 2015 yang membuat negara berkembang, termasuk Indonesia, mau tidak mau melakukan penyesuaian.

Pasalnya, kenaikan suku bunga di negara maju dapat memicu arus modal keluar (capital outflow) dari negara berkembang untuk masuk ke negara yang menawarkan return tinggi.

Imbal hasil obligasi pemerintah AS (US Treasury bond) bertenor 10 tahun bahkan sudah lebih dulu mengarah ke level 3%, melesat dibandingkan tahun lalu yang hanya 1,7%.

Mengutip Bloomberg, US Treasury yield pada Selasa (14/1/2014) mencapai 2,85%, naik 101 basis poin dari tahun lalu. Adapun imbal hasil surat utang negara (SUN) bertenor 10 tahun awal pekan ini bertengger di level 8,68% setelah sempat menembus 9% pekan lalu.

Mirza menuturkan level ini akan terus meningkat ke 3,5% pada pengujung 2014. “Kebijakan moneter Bank Indonesia akan memastikan bahwa Indonesia dapat mulus melewati ini,” katanya melalui pesan singkat, Senin (13/1/2014).

Mantan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini mengatakan kebijakan moneter tak hanya melihat perbaikan internal semata, tetapi harus pula memperhitungkan faktor global.

Data ekonomi Indonesia dalam 2 bulan terakhir menunjukkan perkembangan positif. Inflasi 2013 tercatat 8,38% atau dinyatakan sesuai ekspektasi otoritas pascakenaikan BBM bersubsidi sekalipun meleset dari asumsi pemerintah sebesar 7,2%.

Neraca perdagangan November 2013 pun mencetak surplus US$776,8 juta atau rekor tertinggi sejak April 2012 setelah bulan sebelumnya membukukan surplus US$24 juta.

Surplus dagang dua bulan berturut-turut itu membuat prospek transaksi berjalan cerah dengan defisit menciut ke kisaran US$6 miliar pada kuartal IV/2013 atau turun dibandingkan kinerja kuartal sebelumnya yang negatif US$8,4 miliar.

Persepsi negatif terhadap prospek transaksi berjalan turut menekan nilai tukar rupiah sejak akhir Mei sejalan dengan meningkatnya aliran modal keluar yang dipicu oleh sentimen terhadap rencana pengurangan stimulus moneter the Fed. 

BI mencatat rupiah secara point to point melemah 20,8% (year on year) selama 2013 ke level Rp12.170 per dolar AS atau secara rata-rata melemah 10,4% (yoy) ke level Rp10.445.

Untuk meresponsnya, bank sentral melakukan pengetatan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan 175 basis poin sejak Juni 2013 dan bertahan di level 7,5% selama 3 bulan terakhir.

“Kebijakan moneter Indonesia akan tergantung dari kondisi inflasi, neraca pembayaran dan situasi ekonomi global,” ujar Mirza.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Sri Mas Sari
Editor :
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper