Bisnis.com, JAKARTA--Meski BI merasa nyaman dengan posisi saat ini, Gubernur BI Agus Martowardojo menegaskan otoritas moneter tetap harus mewaspadai kondisi fundamental perekonomian domestik, terutama dari sisi defisit neraca transaksi berjalan.
“Kita masih mengkhawatirkan bulan November neraca perdagangan kembali defisit,” ungkapnya, Rabu (10/12/2014).
Perlemahan nilai tukar yang diharapkan menggenjot ekspor pun dinilai tak berpengaruh terlalu signifikan. Pasalnya Fauzi menilai, kapasitas produksi manufaktur dalam negeri belum fleksibel untuk memenuhi permintaan luar negeri.
Menanggapi hal tersebut Agus meyakinkan bahwa BI selalu hadir di pasar melalui serangkaian operasi moneter demi menjaga volatilitas nilai tukar rupiah yang belakangan agak kencang. Hal ini sebetulnya sudah terlihat dari bulan sebelumnya saat BI merilis posisi cadangan devisa per akhir November.
Dalam keterangan resminya, BI memaparkan bahwa cadangan tergerus US$1,1 miliar dolar dengan salah satu pos pengeluaran devisa terbesar adalah untuk mengendalikan nilai tukar rupiah versus greenback.
Adapun, ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan menilai meski perlemahan rupiah jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahun lalu yang melampaui 22% tren depresiasi saat ini berisiko menimbulkan kekhawatiran pasar.
“Kalau melemah terus pemasok dolar enggan menjual karena tunggu perlemahan lebih dalam sementara importir dan pembayaran utang luar negeri semakin panik. Kalau suplai dolar kering nilai dolar bisa meningkat sangat tajam,” katanya.
Terlebih biasanya utang-utang bernilai raksasa banyak yang jatuh tempo di akhir tahun. Kebutuhan importasi barang pun turut meningkat seiring kebutuhan untuk memenuhi permintaan jelang Natal dan tahun baru.
Seperti akhir tahun lalu, perpaduan antara kondisi fundamental supply and demand serta sentimen global penghentian gelontoran stimulus moneter Bank Sentral AS atau tapering off membuat rupiah terkapar kurang dari 24 jam dari Rp12.160 menjadi Rp12.261.
Lebih lanjut Fauzi menilai BI hanya punya 2 pilihan saat ini yakni mengintervensi pasar secara agresif, dengan risiko penyusutan cadangan devisa, atau menaikkan suku bunga acuan BI rate yang bisa kian mengerem pertumbuhan ekonomi.