Bisnis.com, JAKARTA--Sebanyak 17 BUMN yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) diproyeksikan mengumpulkan laba yang dapat diatribusikan kepada entitas induk senilai Rp89,69 triliun pada 2014 atau lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada 2013.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari laporan keuangan 20 emiten BUMN, realisasi laba yang dapat diatribusikan kepada entitas induk pada tahun buku 31 Desember 2013 mencapai Rp91,28 triliun.
Pada periode tersebut, dua BUMN yang mengalami kerugian antara lain PT Indofarma Tbk (Persero) (INAF) dan PT
Krakatau Steel Tbk. (Persero) (KRAS). Untuk tahun buku 2014, pemerintah memperkirakan tiga BUMN tidak berkontribusi terhadap pendapatan negara bukan pajak.
Sejauh ini belum dapat diketahui BUMN apa saja yang merugi untuk tahun buku 2014 karena belum semua BUMN mengumumkan kinerja perusahaannya atau menyelesaikan audit laporan keuangannya. Sejauh ini, baru PT Bank Negara Indonesia Tbk. (Persero) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (Persero) yang mengumumkan kinerja 2014.
Berdasarkan dokumen Kementerian BUMN yang diperoleh Bisnis.com di DPR, pemerintah memiliki saham dengan kepemilikan bervariasi antara 51%-90% di 17 BUMN itu. Dari jumlah laba tersebut, laba yang dianggap dapat menjadi bagian pemerintah senilai Rp51,41 triliun.
Namun, tidak semua laba tersebut bakal diserahkan sebagai dividen atau pendapatan bagian laba pemerintah yang menjadi bagian dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Pemerintah menetapkan dividend payout ratio (DPOR) yang berbeda-beda bagi setiap BUMN.
Dalam Rancangan APBN Perubahan 2015, pemerintah menyampaikan DPOR tersebut sebesar 5%-50%. Sebagai gambaran, beberapa pekan sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno menyampaikan DPOR tersebut 5%-40%.
Dalam pertemuan dengan Banggar DPR pada Selasa (3/2) yang digelar hingga menjelang Rabu (4/2), pemerintah mengusulkan dividen yang dibayar oleh 17 BUMN yang telah go public sebesar Rp17,61 triliun.
Usulan dividen 17 emiten BUMN itu lebih besar dibandingkan dengan Rp16,24 triliun usulan dividen yang harus dibayar oleh perusahaan pelat merah yang belum melantai di BEI serta Rp1,09 triliun usulan dividen yang harus dibayar oleh 12 perusahaan yang sebagian kecil sahamnya dengan porsi 9,36%-50% dimiliki oleh pemerintah.
Dengan demikian, total dividen yang diusulkan oleh Kementerian DPR kepada DPR senilai Rp34,956 triliun dalam Nota Keuangan APBN-P 2015 atau lebih rendah dibandingkan dengan Rp44 triliun dalam APBN 2015.
Dalam paparannya, Sekretaris Kementerian BUMN Imam A.Putro menjelaskan dividend payout ratio di APBN 2015 berkisar antara 5%-70% atau berbeda dibandingkan dengan 5%-50% di RAPBN-P 2015.
“Perubahan signifikan terutama terjadi pada BUMN-BUMN yang diusulkan melaksanakan proyek-proyek prioritas pemerintah seperti di bidang pembangunan infrastruktur, kedaulatan pangan, ketahanan energi dan pengembangan kemaritiman,” katanya seperti dikutip Bisnis.com, Selasa (3/2/2015) malam.
Pengurangan dividen tersebut dianggap sebagai dukungan pemerintah terhadap penguatan permodalan perusahaan sehingga dapat melaksanakan agenda pemerintah.
“Supaya BUMN dapat menjaga likuditas perusahaan dan memperkuat permodalan sendiri sehingga BUMN dapat meningkatkan kapasitas terutama untuk investasi (capital expenditure),” katanya.
Selain itu, sambung Imam, struktur permodalan yang lebih kuat membuat BUMN dapat meningkatkan leverage pendanaan dari perbankan atau lembaga keuangan lain.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Utama GIAA Arif Wibowo belum bersedia menjelaskan kinerja perusahaan untuk tahun buku 2014. Arif juga belum bersedia menjelaskan apakah pihaknya membayar dividen atau tidak. “Tunggu analyst meeting saja,” katanya.
Sementara itu, manajemen ANTM memperkirakan perusahaan masih akan rugi hingga pada 2015. Rugi diperkirakan mencapai Rp924 miliar dan rugi operasi sebesar Rp490 miliar. Direktur Utama ANTM Tato Miraza memperkirakan manajemen akan mengantongi untung pada 2016.