Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Penjamin Simpanan menyebut kondisi kredit dan simpanan masyarakat saat ini menjadi menjadi sinyal pelaku aktivitas perekonomian masih dalam kondisi wait and see terutama dengan volatilitas kondisi perekonomian domestik dan global yang masih tinggi.
Analis Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Seno Agung Kuncoro mengatakan setelah pada periode Juli 2015 pertumbuhan kredit year on year berada di bawah 10%, pada bulan Agustus 2015 terlihat sedikit peningkatan menjadi 10,95%.
Di satu sisi, pada periode yang sama pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) year on year tercatat masih tinggi yaitu sebesar 13,24% di Agustus 2015 .
"Kondisi ini bertolak belakang dengan tahun lalu, dimana industri perbankan berkompetisi dengan ketatnya likuiditas," ujarnya dalam Laporan Perekonomian LPS yang dikutip Bisnis.com, Sabtu (31/10/2015).
Likuiditas perbankan pada periode Agustus 2015 masih mencukupi yang ditandai masih stabilnya rasio kredit terhadap simpanan atau Loan to Deposit Ratio (LDR) pada Agustus 2015 sebesar 88,81%.
"Masih tingginya pertumbuhan dana pihak ketiga dibandingkan pertumbuhan kredit diperkirakan akan bertahan hingga akhir tahun 2015," katanya.
Kendati demikian, pertumbuhan DPK yang diperkirakan masih tinggi maka membuat tekanan pada likuiditas masih terkendali.
LPS menuturkan pertumbuhan kredit mulai mengalami akselerasi menjelang awal semester II/2015.
Salah satu faktor yang bisa mendorong pertumbuhan jumlah penyaluran kredit adalah peningkatan penyerapan anggaran belanja pemerintah, terutama untuk pembangunan infrastruktur di daerah daerah, yang selama ini rendah dalam penyerapan anggaran.
Menurutnya, kondisi posisi kredit dan DPK saat ini dapat diasumsikan sebagai sebuah sinyal bahwa pelaku aktivitas perekonomian masih dalam kondisi wait and see terutama dengan volatilitas kondisi perekonomian domestik dan global yang masih tinggi.
Volatilitas nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini dan dalam posisi yang terdepresiasi akan membawa dampak kepada sektor riil dan ritel.
Pasalnya, kedua sektor ini kestabilan kurs rupiah sangat diperlukan karena proses penentuan harga jual, inventory level dan impor bahan baku misalnya, akan lebih mudah untuk dilakukan sehingga tidaklah mengherankan jika dua sektor ini mengalami perlambatan petumbuhan yang cukup dalam.
Padahal, sektor riil dan ritel selama ini menjadi bidikan industri perbankan dalam menyalurkan kredit.
Dengan pertumbuhan yang cenderung stabil sebesar 10,9% (y-o-y), sektor industri rumah tangga masih memberikan kontribusi yang besar dari total kredit industri perbankan di tengah lesunya penyaluran kredit perbankan.
Sementara itu, sektor perdagangan mengalami penurunan pertumbuhan yang signifikan dari akhir tahun 2014 hingga hanya tumbuh 11,6% (y-o-y) pada Agustus 2015 dibanding akhir tahun 2014 sebesar 18,7% (y-o-y).
"Masih stabilnya pertumbuhan sektor rumah tangga membuat persaingan di sektor ini semakin sengit karena perbankan lebih memilih untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor konsumsi sebagai dampak melemahnya perekonomian domestik," kata Seno.
Untuk sektor properti dan kendaraan bermotor dianggap memiliki multiplier effect dan backward linkage yang cukup besar kepada sektor-sektor ekonomi lainnya, yang diharapkan bisa memberi tenaga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Melihat dari pertumbuhan kredit berdasarkan jenisnya, kredit investasi mengalami penurunan signifikan dari kuartal IV/2014 hingga mencapai 12,7% (y-o-y) di periode Agustus 2015.
Kredit modal kerja dan konsumsi yang menurun masing-masing sebesar 10,6% dan 10,9% (y-o-y) di bulan Agustus 2015.
Untuk komposisi berdasarkan jenisnya kredit modal kerja masih mendominasi sebesar 47,3% (y-o-y) dibanding jenis kredit konsumsi dan investasi.
"Dengan adanya perlambatan pertumbuhan kredit, menunjukkan bahwa seluruh sektor industri tengah menghadapi persoalan akibat kondisi perekonomian