Bisnis.com, JAKARTA – Tingkat solvabilitas asuransi di Indonesia dinilai sudah saatnya untuk dievaluasi seiring dengan perkembangan industri dalam beberapa tahun terakhir.
Geger N Maulana, Plt. Direktur Utama PT BNI Life Insurance, mengatakan industri jasa keuangan secara umum mesti kuat dari sisi permodalan sebab sensitif atau rentan terhadap klaim-klaim besar. Di sejumlah negara di Asia Pasifik, jelasnya, regulator terus mendorong kekuatan modal industri asuransi melalui peningkatan tingkat solvabilitas (risk based capital/RBC).
Di sisi lain, jelasnya, sudah cukup lama batas minimum RBC asuransi di Indonesia tidak mengalami perubahan.
“Misalnya di Hong Kong, regulator sudah menodorng permodalannya dengan meningkatkan [batas minimum] RBC. [Di Indonesia] 120% itu sudah lama, menurut saya sudah waktunya dievaluasi,” ungkapnya, sebagaimana dikutip Bisnis.com, Rabu (21/2/2018).
Geger menilai bahwa industri asuransi dapat berkaca dari industri perbankan yang membagi batas minimum permodalan berdasarkan potensi risiko yang ada dalam perhitungan kesehatan keuangannya. Dia mencontohkan untuk market risk perbankan diwajibkan untuk mengalokasikan sejumlah modal untuk mengantisipasi adanya gejolak di pasar.
Kemudian untuk operational risk, sambung dia, perbankan juga telah menempatkan sejumlah modal untuk mengantisipasi sejumlah problem, seperti pembajakan atau hack sistem teknologi informasi atau kegagalan sistem.
Baca Juga
“Kalau di asuransi itu belum ada, tetapi alokasi permodalan untuk risiko masih total, belum di-breakdown.”
Geger menilai pengaturan di sektor perbankan itu dapat diadaptasikan ke industri asuransi sebab struktur permodalan kedua layanan jasa keuangan tersebut dinilai tidak jauh berbeda.
Seperti diketahui, tingkat solvabilitas asuransi itu diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Pasal 3, regulasi tersebut, menyebutkan bahwa perusahaan setiap saat wajib memenuhi tingkat solvabilitas paling rendah 100% dari modal minimum berbasis risiko atau MMBR.
Target tingkat solvabilitas internal ditetapkan paling rendah 120% dari MMBR dengan memperhitungkan profil risiko setiap perusahaan serta mempertimbangkan hasil simulasi skenario perubahan (stress test). Target ini pun wajib untuk dipenuhi perusahaan setiap saat.
Ketetapan itu tidak berubah dari tingkat solvabilitas asuransi yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 53/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Bahkan, batas tingkat solvabilitas minimum itu tidak mengalami perubahan sejak Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.