Bisnis.com, JAKARTA—Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fachmi Idris menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam pertemuan itu, dibahas mengenai regulasi optimalisasi peran pemerintah daerah agar dapat menanggulangi defisit.
Fachmi mengakui pihaknya sangat menantikan payung hukum tersebut. Dia menjelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 84/2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan Pasal 37 Ayat 5, ada tiga tindakan khusus pemerintah saat posisi keungan BPJS Kesehatan sedang negatif.
Beberapa hal yang diharapkan ada pengaturan baru yaitu penyesuaian dana operasional, penyesuaian iuran, serta penyesuaian manfaat yang diberikan. Fachmi berharap bisa memasukkan tindakan khusus keempat dalam regulasi tersebut yaitu mengoptimalkan peran pemerintah daerah.
“Kami akan bersurat resmi dulu, utamanya tentang memungkinkan atau tidak meng-insert satu pasal dalam Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan ini. Nah tadi dipikirkan bisa masuk keempat, mengoptimalkan peran Pemda,” katanya di kantor Wakil Presiden RI, Kamis (11/10/2018).
Dia berharap Jusuf Kalla atau JK akan segera memproses hal itu dan membicarakannyan dengan Presiden Joko Widodo.
“Kami tunggu landasan hukum yang kuat dan bergerak. Ya [lewat PP] itu salah satu yang kami pikirkan. Bisa lewat perangkat aturan lain ya nanti kita carikan jalannya. Kami kelihatannya ada peluang untuk meng-insert itu di dalam PP tentang tindakan proses,” ujarnya menerangkan.
Dalam regulasi tersebut, kata dia, selama ini disebutkan BPJS berkontrak dengan rumah sakit atau puskesmas secara langsung.
Dengan penambahan tindakan khusus keempat, pihaknya berharap bisa berkontrak langsung dengan pemerintah daerah.
“Kemudian kita tahu bujet tahunannya berapa di situ, kemudian bagaimana mengatur tentang kualitas layanan, tentang menghitung jumlah klaim dan memastikan klaim itu sesuai dengan apa yang dikerjakan, dan lain-lain. Itu kemudian kita kerja samakan dengan pemda,” tuturnya.
Fachmi menjelaskan, konsep tersebut sudah direncanakan matang. BPJS Kesehatan memiliki proyek percontohan serupa di Tanah Datar, Payakumbu, Cilegon, dan Serang. Jika program tersebut berjalan maka akan menghasilkan insentif maupun disinsentif kepada daerah.
Adapun harapan adanya penambahan regulasi itu bukan tanpa landasan. BPJS kesehatan sudah berjalan selama 4 tahun dan pihaknya sudah merekam tren pembiayaan dan pemasukan dari suatu daerah.
Fachmi menggambarkan, misalnya dalam sebuah provinsi pengeluarannya mencapai Rp1 triliun selama empat tahun. Maka BPJS Kesehatan akan melihat besaran dana yang masuk dan kemudian diatur besaran yang akan dikelola daerah.
Dengan uang tersebut jika ada upaya lebih di sisi hulu dari pemerintah daerah maka akan membuat penghematan di sisi hilir. Sisa penghematan nantinya akan menjadi insentif bagi daerah.
Namun, jika sebaliknya, jika tidak ada upaya di hulu yang membuat pembiayaan meningkat di hilir, akan ada disinsentif kepada pemerintah daerah untuk turut membiayai kekurangannya. Kendati demikian dia tidak merinci teknisnya karena masih menunggu payung hukum. “Kira-kira seperti itu konsepnya, tapi teknisnya akan kami tindak lanjuti,” katanya.