Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mengumumkan capaian ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dalam negeri tumbuh 5,17% sepanjang 2018. Menariknya, saat ekonomi tumbuh, sejumlah kelompok usaha mengalami kontraksi.
Ya dalam ekonomi, kontraksi itu biasa. Ada yang tumbuh cepat, ada yang tumbuh lambat, ada yang turun. Bahkan, tidak sedikit bisnis milik para konglomerat yang mengalami pelemahan daya beli.
Banyak orang yang tidak menyadari bahwa konglomerat Indonesia dalam 32 tahun orde baru ditambah 20 tahun reformasi mengalami pertumbuhan pesat. Mengapa kok sekarang seperti melemha, kurang energi?
Saya menggambarkan, selama 50 tahun terakhir Indonesia menikmati yang namanya ledakan produk atau bubble product. Artinya produsen menikmati pertumbuhan pesat dari omzet Rp50 miliar menjadi Rp300 miliar, lalu naik lagi menjadi Rp700 miliar, hingga Rp2 triliun.
Mengapa bisa begitu? Selama ini ekonomi dipusatkan kepada konglomerat dengan kredit raksasa digelontorkan kepada produsen konglomerat. Mereka seperti matahari, pusat terang dunia. Mereka kelompok elite bangsawan.
Sekarang eranya berbeda. Kalau dulu uang kredit digunakan untuk memproduksi barang, lalu dijual menghasilan profit dan membayar gaji pegawai. Alurnya, uang-produksi-barang dagangan-perdagangan-profit-uang.
Sekarang beda. Sekarang eranya ya ledakan uang atau bubble money. Dengan penetrasi internet, semua layanan berbasis online melalui internet, rantai perdagangan menjadi lebih pendek. Sekarang alurnya uang-perdagangan-uang
Anda naik transportasi berbasis aplikasi, Go-car misalnya, bayar pakai Gopay mungkin cukup Rp10.000.
Era inilah yang saat ini sedang berkembang. Era serba uang elektronik. Kalau pemilik uang, konglomerat tidak ikut masuk ke ekosistemnya, bisa ketinggalan. Bisnis mereka harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Penulis
Ir Goenardjoadi Goenawan, MM
Motivator Uang
Untuk pertanyaan dan informasi buku elektronik terbaru, bisa diajukan melalui alamat: [email protected]