Bisnis.com, JAKARTA - Bank penyalur kredit pemilikan rumah (KPR) dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) didorong lebih proaktif menggandeng pemerintah daerah dalam program rumah bersubsidi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan solusi itu adalah alternatif untuk memacu penyaluran KPR Subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), alih-alih menaikkan batas maksimal gaji penerima KPR FLPP dari sebelumnya Rp4 juta menjadi Rp8 juta.
Menurut Bhima penaikan batas gaji tersebut bukanlah solusi yang tepat untuk mendorong realisasi target pembangunan 1 juta rumah.
"Target MBR terkendala belum adanya database target yang jelas khususnya calon debitur di luar PNS. Pembenahan data base yang bisa dibagikan antarbank penyalur FLPP jadi kunci utama. Selain itu bank harus proaktif menggandeng pemda dalam rancangan pembangunan rumah bersubsidi, contohnya program DP 0% yang dilakukan DKI Jakarta," katanya kepada Bisnis, Senin (25/2/2019).
Selain dua poin tersebut, Bhima juga mengatakan alternatif solusi lainnya yakni bank perlu aktif kerja sama dengan perusahaan swasta untuk menawarkan program KPR subsidi ke karyawannya.
"Di Bekasi dan Karawang banyak buruh pabrik yang belum punya rumah, nanti jaminan bisa gunakan surat dari perusahaan tempat bekerja," tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya pemerintah tengah membahas revisi ketentuan penyaluran KPR berskema FLPP yang diperkirakan rampung pada pekan ini. Revisi tersebut didasari tujuan untuk memudahkan ASN hingga golongan III memiliki rumah.
Akan tetapi revisi tersebut menuai pro dan kontra. Penaikan batas maksimal gaji penerima Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi Rp8 juta dinilai akan membawa dampak negatif.
"Seharusnya ditunda dulu revisinya," kata Bhima.
Menurutnya, selain berpotensi menggerus pasar kredit pemilikan rumah (KPR) nonsubsidi yang sudah ada, revisi tersebut juga berpotensi membuat penyaluran rumah subsidi menjadi tidak tepat sasaran.
"Tujuan KPR FLPP untuk dorong MBR juga menjadi bergeser. Masih banyak ASN [aparatur sipil negara] yang bergaji relatif rendah yang membutuhkan rumah," katanya.
Dengan kenaikan batas gaji, bank akan cenderung memilih ASN dengan kemampuan finansial yang lebih baik, sehingga target penyaluran rentan kurang tepat sasaran.
Selain itu, kondisi ini juga dikhawatirkan justru menurunkan pertumbuhan kredit KPR bank secara umum.
"Dengan kata lain nasabah tidak bertambah tapi hanya bergeser, artinya efek kepada pertumbuhan KPR justru negatif," ujarnya.