Bisnis.com, JAKARTA – Mandiri DPLK menilai Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun perlu segera direvisi untuk mendorong industri dana pensiun (dapen).
Hal tersebut disampaikan Direktur Utama Mandiri DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) Syah Amondaris kepada Bisnis, Senin (18/03/2019). Dia menjelaskan UU yang saat ini berlaku tidak mengakomodir berbagai perkembangan di industri dapen sehingga perlu direvisi.
Syah menilai, peraturan perpajakan yang berlaku saat ini perlu diperjelas untuk mendorong perusahaan mendanakan dana pensiun. UU yang berlaku saat ini, serta peraturan perpajakannya, menurut Syah tidak mendorong perusahaan untuk mendanakan dana pensiun karena tidak ada insentif.
"Kan banyak sekali dana pasca kerja, bukan cuma pensiun. Kalau dana tersebut dikelola seharusnya kena pajak pensiun, kalau dikenakan pajak pesangon perusahaan tersebut tidak memiliki insentif untuk mendanakan," ujar Syah kepada Bisnis.
Dia menilai insentif menjadi kunci agar perusahaan mendanakan dana pasca kerja sehingga pemerintah akan mendapatkan uang dalam jumlah besar untuk dikelola. Hal tersebut menurutnya dapat mendorong DPLK dalam mendukung pembangunan.
Syah pun menjelaskan, dalam Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) 24 tentang imbalan kerja di perusahaan tertulis bahwa perusahaan harus mencadangkan uang pensiun. Menurutnya, perusahaan harus didorong untuk menempatkan dana pensiun untuk dikelola, bukan sekadar mencadangkan dana pensiun.
Revisi UU 11/1992 menurutnya dapat membuat hak-hak para pekerja atas dana pasca kerja terpenuhi dan semakin terlindungi. Perlindungan tenaga kerja menurutnya penting, terlebih di negara dengan penduduk usia kerja yang hampir mencapai 200 juta orang.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk usia kerja mencapai 194,78 juta orang dengan jumlah angkatan kerja mencapai 124,01 juta orang.
Jika revisi tidak dilakukan, menurut Syah industri dapen tidak akan tumbuh signifikan. Di antaranya karena pendanaan wajib melalui Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) serta Tabungan dan Asuransi Pensiun (Taspen) cenderung telah terukur.
Selain itu, menurutnya, tanpa adanya revisi UU 11/1992 produk-produk baru dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 52 banyak yang tidak bisa diimplementasikan karena sistem perpajakan yang belum jelas. "Produk [dana] pensiun jadinya yang konservatif saja, ini kan sudah 27 tahun yang lalu," ujar Syah.
Dia pun menjelaskan, UU 11/1992 masih menganggap perusahaan dapen sebagai entitas yang independen karena memiliki laporan keuangan sendiri tetapi pendiri dapen menjadi penanggung jawab. "Ini membuat [perusahaan dapen] menjadi tidak fleksibel. Harusnya seperti PT saja sehingga bisa lebih fleksibel," ujar Syah.