Bisnis.com, JAKARTA -- Meski belum mendapat persetujuan Presiden, Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) yakin premi restrukturisasi yang ditetapkan dalam draf Peraturan Pemerintah Program Restrukturisasi Perbankan sebesar 0,007 persen dari aset tidak akan membebani pelaku industri perbankan.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah menuturkan pihaknya sudah mendengarkan penjelasan dari perbankan di Indonesia dan mempertimbangkan penetapan premi restrukturisasi dengan bijak.
"Bagi perbankan, itu tentu dianggap beban tambahan. Tetapi, kami sudah mempertimbangkan, sehingga preminya tidak memberatkan," katanya dalam konferensi pers LPS, Rabu (31/7/2019).
Adapun Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) ini antara lain mengacu pada UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Beleid ini memberikan tugas pada LPS untuk menyelenggarakan PRP ketika terjadi krisis sistem keuangan dan terjadi permasalahan di sektor perbankan yang dapat membahayakan perekonomian nasional.
Besaran premi yang diajukan saat ini, berada di kisaran 0,004-0,007 persen dari total aset bank. Untuk bank dengan aset di bawah Rp 1 triliun, seperti Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) I dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), besarannya adalah 0 persen alias tidak dikenakan premi.
Premi PRP diperkirakan dapat terkumpul hingga 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) 2017, yang dikenakan dalam jangka 30 tahun.
Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan menilai dana restrukturisasi tersebut masih tergolong kecil. Pasalnya, pada krisis moneter 1998, negara mengucurkan dana hingga 60 persen dari PDB untuk memulihkan situasi ekonomi.
Sementara itu, Kepala Riset Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Lando Simatupang berpendapat total premi yang diajukan oleh LPS masih dalam kategori wajar. Meski, diakui bahwa perhitungan premi yang didasarkan pada aset akan membebani bank kecil.
“LPS pastinya punya perhitungan sendiri dalam menentukan premi restrukturisasi perbankan ini,” tuturnya.
Di samping itu, keputusan untuk melibatkan pelaku industri perbankan dalam penanganan krisis sistemik lebih jauh dipandang dapat menjadi sarana edukasi bagi bank.
Baca Juga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel