Bisnis.com, JAKARTA - Penurunan suku bunga acuan yang dilakukan Bank Indonesia (BI) sejak Juli lalu membuat industri perbankan harus berupaya lebih keras menjaga agar dana masyarakat yang berada di sistemnya tidak kabur karena imbal hasil yang ditawarkan mengecil.
Bank sentral sejak Juli 2019 telah menurunkan suku bunga acuan hingga total 75 basis poin (bps) menjadi 5,25%. Hal ini berdampak pada ikut berkurangnya suku bunga deposito bank.
Penurunan suku bunga deposito dilakukan bank beberapa bulan terakhir. Berdasarkan data analisis uang beredar yang dirilis BI, rata-rata suku bunga simpanan berjangka turun pada Agustus 2019 dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Suku bunga deposito tenor 1, 3, 6, dan 12 bulan turun dari masing-masing 6,68%, 6,78%, 7,24% dan 7,12% per Juli menjadi 6,52%, 6,71%, 7,17% dan 7,11% pada Agustus.
Imbasnya, pelaku industri perbankan harus menggunakan strategi lain untuk menjaga agar nasabah tak mengalihkan simpanannya ke instrumen investasi lain.
Saat bank tengah berupaya menjaga dana nasabah , pemerintah sedang menerbitkan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) 016. Surat berharga yang bisa dibeli dengan harga minimal Rp1 juta ini mulai dipasarkan pada 2-24 Oktober 2019. Pemerintah menargetkan pemasukan hingga Rp9 triliun dari penerbitan ORI016.
Baca Juga
Melihat kondisi tersebut, wajar jika akhirnya bank harus lebih berupaya menjaga dana nasabah tidak keluar. Alasannya, jika dana nasabah beralih ke instrumen investasi lain maka pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) bisa semakin melambat, dan ini berpengaruh pada penyaluran kredit karena faktor ketersediaan likuiditas bank.
Perlambatan penghimpunan dana oleh bank sejauh ini telah terlihat. Data BI menunjukkan, total DPK yang dihimpun perbankan pada Agustus tumbuh 7,3% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp5.615,5 triliun. Kenaikan ini lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai 8% yoy.
Perlambatan pertumbuhan DPK terutama terjadi pada giro yang hanya tumbuh 7,5%, lebih rendah dari peningkatan pada Juli 2019 sebesar 9,3%. Jumlah dana yang disimpan dalam bentuk deposito juga tumbuh melambat dari 8,5% yoy per Juli menjadi 7,8% yoy pada Agustus.
Untuk mengantisipasi larinya dana nasabah, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. memilih strategi dengan mengandalkan pendanaan dari segmen mikro melalui agen laku pandai mereka atau BRILink . Selain itu, emiten berkode BBRI ini juga optimistis mampu meraup pendanaan dari segme konsumer pasca diluncurkannya aplikasi baru bernama BRImo.
Menurut Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo, perseroan juga telah meluncurkan sejumlah ekosistem pembayaran digital untuk menjaga pendanaan di sektor ritel. Tak hanya itu, bank pelat merah ini berupaya meningkatkan layanan cash management dan trade finance guna meningkatkan rasio CASA.
“Secara agregat penerbitan ORI dan SBN tidak berpengaruh signifikan terhadap DPK. Karena pada akhirnya pemerintah akan mengeluarkan dana dalam bentuk government spending yang akan menambah DPK, terlebih pada semester II secara cyclical likuiditas akan meningkat seiring akselerasi government spending,” ujar Haru kepada Bisnis, Minggu (6/10/2019).
Sebagai catatan, BRI juga baru-baru ini telah membuka ruang bagi investor ritel membeli Obligasi Berkelanjutan III Tahap I. Akses pembelian obligasi bagi investor ritel dilakukan karena BRI berupaya memberi alternatif penempatan dana bagi nasabahnya.
“Jadi [kondisi] bahwa mereka [deposan] menempatkan [dana] di obligasi adalah sesuatu yang tak bisa kami hindari, tapi yang bisa kami jaga kalau dia beli obligasi beli-lah obligasi BRI,” ujar Haru pekan lalu.