Bisnis.com, JAKARTA - Melesatnya kredit bermasalah sektor manufaktur menunjukkan sektor tersebut membutuhkan perhatian semua pihak. Perbankan perlu memasang lampu kuning terkait masalah tersebut. Utamanya untuk industri yang berkaitan dengan sektor sumber daya alam dan berorientasi ekspor.
Namun, ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David E. Sumual mengatakan bukan berarti seluruh sektor manufaktur dalam kondisi sulit. Perbankan dalam hal itu perlu memperkuat kemampuan pemetaan profil risiko industri pengolahan.
“Kalaupun sektor yang terdampak tidak juga bisa disamaratakan semua pelakunya bermasalah. Setiap sektor punya champion. Bank harus pintar memetakannya,” jelas David kepada Bisnis, Rabu (27/11/2019).
Hingga tahun depan perekonomian, baik dalam maupun luar negeri, masih akan menantang.
Lebih jauh, pemerintah dalam hal ini perlu mengeluarkan insentif dan kebijakan untuk memberikan stimulus positif.
“Perlu insentif dari pemerintah. Kebijakan soal ekspor dan impor juga perlu kembali diatur, agar nilai tambah lebih bisa kita rasakan,” kata David.
Baca Juga
Adapun berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit bermasalah industri pengolahan naik tajam. Rasio non-performing loan (NPL) menembus 3,6% per September 2019 atau menyentuh titik tertinggi dalam 2 tahun terakhir.
Per September 2019, pembiayaan berstatus kolektibilitas 3 hingga 5 tersebut mencapai Rp33,45 triliun atau melesat 33% secara tahunan (year-on-year/yoy).Padahal sebelumnya, sepanjang Januari--Agustus 2019, pertumbuhan yoy NPL industri pengolahan tertinggi adalah sebesar 12,7% yoy.
Meroketnya jumlah kredit bermasalah tahun ini tidak diikuti dengan pertumbuhan portofolio penyaluran dana. Pada periode yang sama dana bank yang mengalir kepada debitur manufaktur hanya naik 5,6% yoy atau menjadi Rp917,46 triliun.
Realisasi pertumbuhan kredit manufaktur tersebut cenderung melambat secara konsisten sejak awal tahun. Pada kuartal pertama dan kedua, pembiayaan kepada sektor tersebut, masing-masing, tumbuh 9,5% yoy dan 6,9% yoy.