Bisnis.com, JAKARTA - Bagaikan bola salju, kisruh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) kian besar menyeret banyak pihak. Kini, Kejaksaan Agung melakukan upaya cegah dan tangkal (cekal) terhadap 10 orang yang diduga terlibat tindak pidana korupsi di asuransi pelat merah tersebut.
Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus pada Kejagung, Adi Toegarisman mengatakan bahwa 10 orang yang telah dicekal itu berasal dari unsur PT Asuransi Jiwasraya dan pihak swasta.
“Untuk kasus dugaan tindak pidana korupsi di PT Asuransi Jiwasraya, tadi malam kita sudah minta ke pihak terkait untuk mencekal 10 orang berinisial HR, DYA, HP, MZ, DW, GLA, ERN, HH, BT dan AS,” tuturnya, Jumat (27/12).
Adi menjelaskan alasan tim penyidik mencekal 10 orang tersebut, lantaran semuanya diduga terlibat dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara Rp13,7 triliun di PT Asuransi Jiwasraya. “Semuanya diduga terlibat, maka dari itu dilakukan upaya cekal,” katanya.
Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan negara berpotensi rugi sebesar Rp13,7 triliun akibat Jiwasraya telah berinvestasi pada 13 perusahaan bermasalah.
Burhanuddin menilai bahwa PT Asuransi Jiwasraya diduga melanggar prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi melalui investasi pada aset dengan risiko tinggi untuk mengejar high return.
Secara terpisah, Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko membeberkan sejumlah portofolio saham yang berkinerja rendah. Perseroan tidak dapat melikuidasi aset saham karena nilainya terlampau rendah dan berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Hexana menjelaskan bahwa setidaknya terdapat 160 portofolio investasi saham dan reksa dana saham yang dimiliki Jiwasraya. Perseroan tercatat berinvestasi langsung pada 26 perusahaan dan sisanya pada reksa dana saham.
Hexana membeberkan beberapa saham yang masih dimiliki Jiwasraya di antaranya di PT Semen Baturaja Tbk. (SMBR), PT SMR Utama Tbk. (SMRU), PT PP Properti Tbk. (PPRO), PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. (BJBR), dan PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk. (BIPI).
Selain itu, penempatan tidak langsung di antaranya ada di PT Prima Cakrawala Abadi Tbk. (PCAR), PT Eureka Prima Jakarta Tbk. (LCGP), PT Graha Andrasentra Propertindo Tbk. (JGLE), PT Pool Advista Finance Tbk. (POLA), dan PT Trada Alam Minera Tbk. (TRAM).
“Per 26 Desember 2019, saham nilainya tinggal Rp1,5 triliun dan reksa dana saham tinggal Rp4 triliun, dari harga perolehan [saham] Rp5,6 triliun dan [reksa dana] Rp12,7 triliun,” ujar Hexana pada Jumat (27/12).
Dia menjelaskan bahwa dari jumlah tersebut masih terdapat sisa impairment atau perkiraan penurunan nilai hingga Rp1,2 triliun.
Hal tersebut membuat perseroan kesulitan untuk melikuidasi aset saham yang porsinya mencapai separuh dari aset finansial.
Hexana pun menjelaskan bahwa perseroan bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus berupaya agar saham-saham tersebut dapat dijual. Kementerian BUMN menargetkan untuk menjual saham tersebut saat nilainya mencapai Rp5,6 triliun.
Jiwasraya tidak dapat melakukan cut loss meskipun saham-saham tersebut tidak menunjukkan pertumbuhan kinerja. Hal tersebut karena proses cut loss dapat menimbulkan kerugian negara.
“Cut loss itu boleh sepanjang sudah ada kebijakan internal, tidak ada indikasi fraud. Kalau ada indikasi fraud [dalam proses cut loss] dapat dikategorikan sebagai kerugian negara,” ujar Hexana.
Dia menjabarkan bahwa penempatan investasi pada saham dan reksa dana saham dengan volatilitas tinggi merupakan implikasi dari meningkatnya pendapatan premi produk JS Plan. Produk tersebut memberikan proteksi selama 5 tahun dengan iming-iming imbal hasil 9%–13% dalam satu tahun.
Pada 2013, premi JS Plan tercatat senilai Rp1,08 triliun atau 18,7% dari total premi sebesar Rp5,77 triliun. Porsi premi JS Plan terus melonjak hingga pada 2017 mencapai Rp16,54 triliun atau 75,3% dari total premi senilai Rp21,91 triliun.
Premi JS Plan yang menjadi dominan membuat perseroan terbebani tanggung jawab pembayaran imbal hasil setiap tahunnya. Hal tersebut membuat Jiwasraya menempatkan investasi pada instrumen saham dan reksa dana saham untuk mengejar imbal hasil tinggi, tetapi gagal dan hasilnya rugi.
“Jiwasraya agresif menaruh [investasi di] saham pada 2014, 2015, 2016, 2017 karena menjanjikan imbal hasil tinggi itu, tujuannya memang mengincar return,” ujar Hexana.
SKEMA PONZI
Kondisi tersebut, menurut Hexana, membuat Jiwasraya menerapkan skema ponzi, yakni membayarkan hasil investasi jatuh tempo menggunakan pendapatan premi baru dari nasabah selanjutnya.
Hal tersebut terjadi karena instrumen investasi apa pun yang dipilih Jiwasraya tidak dapat mencapai besaran imbal hasil yang dijanjikan produk JS Plan.
Menurut Hexana, skema ponzi terus diterapkan hingga puncaknya pada Oktober 2018 perseroan ‘menyerah’ untuk membayarkan klaim.
“Perusahaan menjanjikan return yang tinggi kepada pemegang polis, antara 2,50% sampai dengan 6,25% di atas bunga deposito bank Himbara dan obligasi pemerintah,” ujar Hexana.
Alhasil, berdasarkan dokumen kondisi keuangan Jiwasraya yang diperoleh Bisnis, per 30 September 2019 perseroan mencatatkan kerugian Rp13,7 triliun dan ekuitas negatif Rp23,92 triliun.
Jiwasraya pun memiliki klaim jatuh tempo Rp12,4 triliun pada akhir 2019 yang tidak dapat dipenuhi.
Aset perseroan pada 30 September 2019 tercatat senilai Rp25,68 triliun. Jumlahnya terus menurun dari posisi 31 Desember 2018 senilai Rp36,23 triliun dan pada 31 Desember 2017 senilai Rp45,68 triliun.
Sementara itu, Benny Tjokrosaputro, Direktur Utama PT Hanson International Tbk. (MYRX) menyebutkan bahwa surat utangnya yang dipegang oleh Jiwasraya sudah lunas beberapa tahun lalu.
Benny menegaskan bahwa pihaknya tidak memiliki keterkaitan dengan skandal di Jiwasraya baru-baru ini.
“Tidak ada [hubungan dengan kasus Jiwasraya]. Surat utang Hanson sudah lunas 3 atau 4 tahun yang lalu. Saham grup saya adalah saham publik, JS bukan beli dari saya. Bisa dicek,” katanya kepada Bisnis, Jumat (27/12).
Sebelumnya, audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan bahwa investasi Jiwasraya terhadap surat utang jangka menengah atau medium term notes (MTN) milik MYRX senilai Rp680 miliar berisiko gagal bayar.
Di sisi lain, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengonfirmasi isu yang beredar bahwa Jiwasraya pernah membeli saham PT Mahaka Media Tbk. perusahaan dengan kode emiten ABBA yang didirikan Erick Thohir. Menurut dia, pembelian saham berlangsung kira-kira pada 23 Januari 2014.
Kala itu, menurut Arya, Jiwasraya membeli saham ABBA senilai Rp14,9 miliar dengan harga saham Rp95 per lembarnya.
“Jiwasraya menjual saham tersebut dua kali, pada 17 Desember 2014, jadi gak sampai setahun, nilainya Rp11 miliar lebih itu dengan harga saham Rp114. Kemudian, pada hari yang sama, dia [Jiwasraya] menjual juga Rp6 miliar di harga saham Rp112,” ujar Arya, Jumat (27/12).
Menurut Arya, Jiwasraya memperoleh keuntungan sekitar Rp2,8 miliar atau sekitar 18% dari penjualan saham ABBA tersebut. Namun, setelah itu, Jiwasraya tidak lagi mencatatkan pembelian saham Mahaka.
Sementara itu, manajemen PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. membenarkan adanya transaksi Repurchase Agreement (Repo) yang dilakukan perseroan dengan Jiwasraya pada 2018.
“BTN melakukan transaksi Repo dengan Jiwasraya senilai Rp200 miliar, dengan pertimbangan sinergi antar BUMN dan terdapat agunan berupa surat berharga obligasi BUMN. (Rating A-AAA) dengan coverage ratio di atas 200%,” ujar Sekretaris Perusahaan BTN Achmad Chaerul dalam keterbukaan informasi yang diakses Jumat (27/12).
Repo adalah transaksi penjualan surat berharga dari pihak penjual ke pembeli, dengan perjanjian bahwa surat berharga terkait akan dibeli kembali oleh penjual dalam jangka waktu tertentu.
Dalam konteks BTN dan Jiwasraya, pihak penjual di sini adalah Jiwasraya. Perusahaan asuransi pelat merah ini mengagunkan surat berharga atau obligasi senilai Rp200 miliar demi mendapat kredit dari BTN.
Tak hanya BTN, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. juga memiliki portofolio pembiayaan terhadap Jiwasraya berjumlah maksimal Rp218 miliar.
Pinjaman BNI kepada Jiwasraya ditandatangani pada 13 September 2018 dengan jangka waktu hingga 12 September 2023.
“Kredit tersebut dijamin dengan obligasi pemerintah dan obligasi korporasi total senilai Rp468 miliar atau coverage ratio senilai 214,7%,” ujar Sekretaris Perusahaan BNI Meiliana.
Hingga 23 Desember 2019, outstanding pembiayaan Jiwasraya yang dimiliki BNI tersisa Rp144 miliar dengan jaminan mencapai Rp356 miliar. Meiliana menyebut, kualitas kredit kepada Jiwasraya ini masih tergolong lancar atau masuk kelompok kolektibilitas I.
“Pemberian kredit oleh Perseroan dinilai aman dan memperhatikan prinsip kehati-hatian karena dijamin dengan obligasi pemerintah dan obligasi korporasi yang cukup likuid dengan coverage ratio dijaga minimal sebesar 200% dari outstanding pinjaman,” tuturnya. (Lalu Rahadian/Wibi Pangestu Pratama, Dwi Nicken Tari/Sholahuddin Al Ayyubi)