Bisnis.com, JAKARTA - Pada Senin (6/1/2020) Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengeluarkan putusan mengenai eksekusi jaminan fidusia harus lewat pengadilan. Namun, pihak Astra Credit Companies (ACC), menilai eksekusi jaminan fidusia tetap bisa dilakukan.
Pihak ACC menghargai dan memandang positif putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Putusan tersebut dinilai sejalan dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai Penanganan Eksekusi Fidusia atas Debitur Bermasalah.
Vice President Legal Business ACC Ikhsan Abdillah mengatakan bahwa secara prinsip ACC telah menjalankan hal tersebut dalam proses bisnisnya.
“Putusan MK mengamanatkan adanya ketentuan mengenai cedera janji atau wanprestasi dalam kesepakatan antara debitur dan kreditur. Dalam perjanjian pembiayaan antara ACC dan debitur telah diatur tindakan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai tindakan cedera janji dan konsekuensinya”, ujar Ikhsan dalam keterangan tertulis, Jumat (10/1/2020).
Ikhsan kemudian menceritakan proses penanganan debitur bermasalah di ACC tidak langsung dilakukan proses eksekusi. Upaya penagihan bagi debitur yang lalai membayar angsuran dilakukan terlebih dahulu melalui telepon, kunjungan, dan surat.
“Kami tidak serta merta melakukan eksekusi kepada debitur yang wanprestasi. Bagi debitur yang memiliki masalah keuangan, dapat berkonsultasi dengan tim ACC untuk dipertimbangkan mengajukan program reschedule dan restructuring pembayaran," terangnya.
Baca Juga
ACC, sambungnya, acapkali memberikan program khusus reschedule dan restructuring untuk debitur yang terkena musibah bencana alam seperti yang pernah terjadi pada bencana gempa di Palu dan baru-baru ini banjir di Jakarta.
Ikhsan menghimbau debitur agar secara seksama membaca dan memahami keseluruhan isi perjanjian pembiayaan. “Hal ini penting agar di kemudian hari tidak ada kesalahpahaman dari debitur terutama mengenai hal-hal yang membuat cedera janji atau wanprestasi sehingga pembiayaan debitur bermanfaat dan lancar hingga lunas.”
ACC adalah induk usaha dari PT Astra Sedaya Finance (ASF). Perusahaan ini sebelumnya sempat bersengketa dengan debitur atau penerima kredit yakni, Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo. PT ASF digugat ke pengadilan karena dinilai melakukan tindakan paksa pengambilan jaminan fidusia.
Suri Agung sebelumnya menyampaikan bahwa dalam kasus konkret pihaknya telah mengalami tindakan pengambilan paksa mobil Toyota Alphard V Model 2.4 A/T 2004 oleh ASF pada 10 November 2017.
PT ASF mengirim perwakilan untuk mengambil kendaraan Suri Agung dengan dalil wanprestasi. Atas perlakuan tersebut debitur mengajukan surat pengaduan atas tindakan yang dilakukan perwakilan PT ASF.
Kemudian pemohon mengambil langkah hukum dengan mengajukan perkara ke Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan pada 24 April 2018 dengan gugatan perbuatan melawan hukum dengan nomor registrasi perkara 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel.
Pengadilan mengabulkan gugatan pemohon dengan menyatakan PT ASF telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun pada 11 Januari 2018, PT ASF kembali melakukan penarikan paksa kendaraan pemohon dengan disaksikan pihak kepolisian.
Selain itu, Suri Agung juga mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Perkara itu tercatat dengan registrasi No. 18/PUU-XVII/2019. Uji materi diajukan karena pemohon mengaku dirugikan dengan bunyi Pasal 15 Ayat 1, Ayat 2, dan Ayat 3, UU Jaminan Fidusia.
Dikutip dari keterangan resmi MK, Rabu (13/3/2019), pemohon mendalilkan Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia yang berbunyi, (1) “Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa", (2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, (3) Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri” merugikan hak konstitusionalnya.
Pemohon pun menilai pasal itu bertentangan dengan Pasal 27 Ayat ) dan Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945.