Bisnis.com, JAKARTA — Permintaan restrukturisasi pinjaman diajukan kepada lebih dari separuh perusahaan tekfin lending di Indonesia. Namun, realisasinya bergantung pada keputusan pihak pemberi pinjaman atas hasil penilaian yang diajukan oleh penyelenggara peer to peer lending.
Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Tumbur Pardede mengatakan bahwa pihak penyelenggara peer to peer (P2P) lending hanya dapat melakukan penilaian terhadap ajuan yang disampaikan oleh peminjam.
"Kami hanya menilai, menyeleksi, dan menguji kelayakan peminjam, sebelum kemudian diajukan kepada lender untuk diberikan ," ujar Tumbur dalam pertemuan daring bertajuk Restrukturisasi Pinjaman di Fintech P2P Lending pada Masa Covid-19, Senin (20/4/2020).
Adapun, hal itu juga diiringi dengan menurunnya tingkat pembayaran akumulatif April 2020.
Sampai dengan saat ini, lanjut Tumbur, belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur perihal restrukturisasi pinjaman P2P lending sehingga hal tersebut harus dilakukan berdasarkan kepakatan antara pemberi pinjaman dan peminjam.
Namun, setidaknya terdapat tiga kriteria mendasar yang dapat dijadikan acuan.
Baca Juga
Pertama, peminjam wajib memberi bukti sebagai pelaku UMKM terdampak wabah Covid-19 yang tidak memiliki kemampuan pembayaran pinjaman saat jatuh tempo, tapi masih memiliki sumber penghasilan di waktu mendatang serta memiliki iktikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya.
Kedua, status peminjam sebelum tanggal 2 Maret 2020 adalah lancar.
Ketiga, pengajuan permintaan restrukturisasi pinjaman harus memiliki jarak durasi yang cukup lama sebelum jatuh tempo pembayaran pinjaman.
Berdasarkan hasil survei AFPI terhadap 130 anggotanya, sampai dengan 6 April 2020 terdapat 68 platform atau sekitar 52 persen platform fintech lending yang mengaku sudah mendapat permohonan restrukturisasi dari peminjam.
Dalam hasil survei tersebut, juga tercatat penurunan tingkat pembayaran (disbursed) di industri fintech lending pada April 2020. Tingkat pembayaran secara akumulatif turun 5 persen dibandingkan dengan Maret 2020.
Menurut Tumbur, hal tersebut terjadi seiring dengan penurunan produktivitas yang dialami oleh pelaku usaha ritel luring di kota-kota paling terdampak oleh Covid-19.
Beberapa pelaku usaha peminjam lain yang mengalami penurunan berada di sektor pariwisata dan perhotelan sebagai akibat dari menurunnya konsumsi masyarakat.