Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia mengajukan keringanan pembayaran kredit alias restrukturisasi dari perbankan agar lebih optimal dalam merestrukturisasi pembiayaan ke nasabah.
Menurut Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno di masa sulit saat ini, industri pembiayaan juga berpotensi “terjepit” jika arus kas semakin tidak lancar.
Perusahaan pembiayaan, kata dia, juga perlu menjaga likuiditasnya karena perannya adalah menyalurkan dana dari perbankan kepada debitur. Dia mengibaratkan bahwa perusahaan pembiayaan merupakan kreditur bagi masyarakat, tetapi juga merupakan debitur bagi perbankan yang menjadi sumber dana.
"Kalau banyak debitur yang mengajukan kepada kami untuk menunda pembayaran cicilan atau hanya membayar bunga, tetapi kami harus membayar bunga dan pokok kepada perbankan, kami akan mengalami kesulitan likuiditas," ujar pada Selasa (28/4/2020).
APPI mengharapkan adanya kerja sama antara industri pembiayaan dengan pihak-pihak lain dalam mengimplementasikan kebijakan restrukturisasi secara optimal, di antaranya adalah dengan industri perbankan dan asuransi. Kerja sama tersebut dinilai dapat menjaga cashflow perusahaan pembiayaan di masa sulit seperti ini.
Suwandi menjelaskan bahwa pihaknya mengharapkan adanya konsep mirroring dengan perbankan, artinya perusahaan pembiayaan memberikan restrukturisasi yang optimal kepada masyarakat selaku debitur, tetapi juga mendapatkan restrukturisasi dari perbankan.
APPI pun menyatakan telah mengirimkan surat kepada Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) untuk memohon adanya relaksasi pembayaran asuransi, misalnya perpanjangan tenor pembayaran premi tanpa biaya tambahan.
"Sampai saat ini kami sudah mendapatkan jawaban dari AAUI, tetap meminta dibayar. Namun, mungkin dengan perhitungan premi yang lebih kecil," ujar Suwandi.
Dia menjelaskan bahwa dalam kondisi saat ini, seluruh sektor jasa keuangan, dari hulu ke hilir perlu bekerja sama untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada di masyarakat. Kerja sama itu pun dinilai penting untuk menjaga kinerja masing-masing sektor dalam kondisi penuh ketidakpastian ini.
Berdasarkan perhitungan APPI, industri pembiayaan berpotensi menanggung kerugian Rp24,2 triliun dalam tiga bulan ke depan akibat penundaan pembayaran cicilan dan larangan eksekusi kendaraan jaminan.
Dia menjelaskan, kondisi di lapangan saat ini banyak debitur yang menolak ditagih. Selain itu, terdapat sejumlah pemerintah daerah (pemda) yang salah persepsi dalam menangkap pesan presiden terkait kebijakan restrukturisasi, sehingga mereka justru mengeluarkan himbauan penolakan penagihan atau penjemputan angsuran.
"Banyak multitafsir di masyarakat, tafsiran yang populer itu boleh libur cicilan selama satu tahun, padahal di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan [POJK] boleh relaksasi maksimal satu tahun. Terkait adanya himbauan tidak boleh eksekusi, OJK telah mengklarifikasi bahwa penarikan kendaraan masih boleh selama sesuai dengan koridor hukum," ujarnya.