Bisnis.com, JAKARTA -- Industri perbankan telah membuat sejumlah strategi dalam menghadapi dampak Covid-19 yakni mulai dari melakukan restrukturisasi kredit hingga mendorong nasabah melakukan transaksi via digital. Lantas, sejauh mana perbankan bisa bertahan?
Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Hery Gunardi mengatakan pihaknya telah mengkatagorikan tiga level kondisi perbankan atas dampak pandemi Covid-19.
Pertama, level 1 atau base line dengan asumsi outbreak corona hanya terjadi selama 6 bulan dari perhitungan Maret 2020. Kedua, outbreak sampai dengan 12 bulan. Ketiga, level paling ekstrim yakni 12 bulan dengan adanya tambahan pembatasan sosial skala besar (PSBB) selama tiga bulan.
Menurutnya, masing-masing bank memiliki ketahanan yang berbeda-beda terkait kondisi tersebut. Hal itu bergantung pada ketahanan portofolio kredit yakni segmen yang dilayani bank bersangkutan.
Unttuk Bank Mandiri, saat ini rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) berada di bawah 5 persen. Bahkan, perseroan dinilai masih membukukan laba. Begitu juga dengan besaran cadangan atas NPL yang telah diantisipasi sebesar lebih dari 250 persen.
“Di kami, Bank Mandiri masih bisa survive bertahan. Kalau sampai setahun masih oke, kalau bertahun-tahun itu yang agak berat,” katanya, Senin (18/5/2020) sore.
Baca Juga
Bank Mandiri, lanjutnya, memiliki portofolio kredit yang terdiversifikasi yakni mulai dari korporasi, komersial, small medium entreprise (SME), konsumer, ritel, dan mikro. Emiten bersandi BMRI ini juga memiliki 12 anak usaha di bidang asuransi, sekuritas, aset manajemen, hingga bank syariah yang saling terkoneksi satu sama lain.
“Kalau worst to worst di kami, Bank Mandiri masih bisa bertahan,” katanya.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan hingga saat ini tekanan pada rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) pada perbankan belum terlihat karena sudah dilakukan restrukturisasi kredit.
Apabila bank tidak melakukan restrukturisasi, pembentukan biaya pencadangan akan semakin besar sehingga akan menggerus modal.
Wimboh pun meyakini tidak semua bank mengalami tekanan likuiditas akibat kebijakan restrukturisasi. Bahkan, pada BPR sekalipun yang penyaluran kreditnya mencapai Rp210 triliun. Lantaran kondisi tersebut, hingga saat ini, OJK memastikan belum akan melakukan relaksasi standar pengaturan perbankan atau basel.
“Kalau modal perhitungan profit and loss di akhir tahun baru kelihatan, tetapi biaya pencadangan tidak ada, masih tidak terlalu urgent ke permodalan yang berasal dari kerugian,” katanya.