Bisnis.com, JAKARTA -- Kualitas kredit konstruksi segmen usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) makin mengalami tekanan pada awal tahun ini. Selain relaksasi kredit, pemerintah diharap lebih merata dalam menjamin pembagian proyek untuk menjaga keberlangsungan bisnis wong cilik ini.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), baki kredit konstruksi UMKM per Februari tahun ini tercatat senilai Rp58,49 triliun dengan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) 9,40 persen. Posisi ini lebih tinggi dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yang sebesar 7,93 persen.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan permasalahan terkait tidak meratanya proyek yang diterima pelaku UMKM konstruksi sudah cukup lama dan semakin pelik ketika menghadapi krisis seperti saat ini.
"Memang pemerataan proyek termasuk untuk pelaku UMKM ini harus mulai menjadi prioritas bagi pemerintah. Karena bukan tidak mungkin hal ini menjadi permasalahan kredit bermasalah yang pelik dan membebani perbankan, jika mereka gagal bangkit," katanya kepada Bisnis, Senin (1/6/2020).
Meski demikian, Trioksa mengakui pemerintah cukup perhatian dengan memberikan subsidi bunga melalui kredit usaha rakyat (KUR). Selain itu, dia menyebutkan pemerintah juga tanggap dalam memberikan relaskasi kepada perbankan untuk dapat memberi keringanan arus kas bagi pelaku UMKM pada masa pandemi ini.
"Memang seharusnya dukungan untuk pelaku UMKM swasta ini lebih banyak karena bagaimanapun pemerintah bersama OJK juga telah berprinsip untuk mengembnagan sistem keuangan berkelanjutan, yang salah satu motornya adalah pertumbuhan kredit UMKM yang berkualitas," ujarnya.
Baca Juga
Sebagai informasi, prinsip keuangan berkelanjutan mulai digagas di Indonesia oleh OJK melalui menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 51/2017 tentang Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (KB) dan POJK nomor 60 tahun 2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan.
Otoritas meminta perbankan menerapkan prinsip keuangan berkelanjutan, yakni prinsip yang didasarkan pada pengembangan produk, kapasitas internal perbankan, organisasi, manajemen risiko tata kelola, dan standar prosedur operasional sesuai pelestarian masyarakat dan lingkungan.
Kelompok bank umum kelompok usaha (BUKU) III dan IV wajib menerapkan keuangan berkelanjutan dalam kegiatan usaha pada awal 2019 ini, sedangkan bank BUKU I dan II diwajibkan menerapkannya pada 2020.