Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Inflasi Rendah, Haruskah BI Cetak Uang untuk Biayai Stimulus Covid-19?

Kebijakan 'cetak uang' oleh bank sentral tidak akan langsung menimbulkan hiperinflasi. Berikut ini alasannya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam (dari kiri) menyampaikan paparan didampingi Direktur Mohammad Faisal, dan Wakil Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Chamdan Purwoko saat berkunjung ke kantor Bisnis Indonesia, di Jakarta, Rabu (10/1)./JIBI-Felix Jody Kinarwan
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam (dari kiri) menyampaikan paparan didampingi Direktur Mohammad Faisal, dan Wakil Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Chamdan Purwoko saat berkunjung ke kantor Bisnis Indonesia, di Jakarta, Rabu (10/1)./JIBI-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Senior CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan ada beberapa alasan mengapa kebijakan mencetak uang oleh bank sentral tidak akan secara langsung mengakibatkan hiperinflasi pada kondisi pandemi virus Corona (Covid-19).

Pertama, sebagaimana diuraikan sebelumnya pencetakan uang tidak akan menyebabkan bertambahnya jumlah uang beredar yang terlalu besar.

"Posisi jumlah uang beredar saat ini relatif rendah, sementara kenaikan jumlah uang yang diakibatkan juga tidak terlalu besar dan berlangsung tidak terus-menerus," katanya dalam siaran pers, Jumat (5/6/2020).

Selain itu, dia memperkirakan pertambahan uang beredar juga tidak serta-merta akan mendorong permintaan konsumen.

Kedua, kenaikan permintaan (yang diperkirakan terbatas) masih bisa diakomodasi dengan ketersediaan pasokan. Dari sisi produksi saat ini Indonesia memiliki sarana dan prasarana produksi yang relatif baik.

Piter tidak menampik ada beberapa industri mengurangi aktivitas produksi sebagai respons dari penurunan daya beli masyarakat. Namun, secara agregat sektor manufaktur dan sektor strategis lainnya sebenarnya masih mengalami pertumbuhan. Apalagi relaksasi kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilakukan dengan baik.

"Aktivitas industri berpotensi dapat kembali normal secara bertahap," ungkapnya.

Ketiga, situasi politik saat ini jauh lebih kondusif, dan tingkat inflasi juga relatif rendah. Tingkat inflasi pada 2020 diproyeksikan akan lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini didasarkan rendahnya inflasi pada bulan Ramadan-Lebaran 2020.

Sebagai perbandingan, inflasi secara year-to-date per Mei 2020 hanya 0,90 persen, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy) yakni mencapai 1,48 persen.

Rendahnya angka inflasi menandakan pelemahan daya beli masyarakat yang disebabkan oleh penurunan pendapatan masyarakat akibat pandemi.

"Dengan inflasi yang tahun ini diprediksi lebih rendah, pemerintah semestinya dapat lebih leluasa untuk melakukan kebijakan yang lebih akomodatif dari sisi moneter, termasuk di antaranya kebijakan mencetak uang," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper