Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan penempatan dana pemerintah untuk membantu likuiditas perbankan yang melakukan restrukturisasi diproyeksi tidak akan banyak diakses oleh bank-bank.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan program penempatan dana pemerintah melalui bank jangkar cakupannya memang terbatas karena tidak semua bank melakukan restrukturisasi. Hanya bank yang melakukan restrukturisasi dan memberikan modal kerja UMKM yang dapat menerima penempatan dana pemerintah.
Perlu dicatat pula, bantuan likuiditas lewat penempatan dana pemerintah nilainya sangat terbatas sehingga tidak mungkin diakses oleh semua bank. Alokasi anggaran bantuan pemerintah berupa penempatan dana di perbankan terlalu kecil bila dibandingkan penurunan likuiditas yang dialami perbankan.
CORE Indonesia menghitung apabila perbankan melakukan restrukturisasi terhadap 25 persen dari total kredit yang disalurkan, maka perbankan akan mengalami penurunan likuiditas sekitar Rp631 triliun.
“Penempatan dana pemerintah di bank jangkar sangat terbatas tidak cukup untuk membantu likuiditas perbankan secara keseluruhan akibat wabah Covid-19 saat ini,” katanya kepada Bisnis, Kamis (6/4/2020).
Menurutnya, likuiditas bank saat ini tidak bisa dikatakan aman karena pandemi Covid-19 yang memberikan tekanan cukup berat. Lantaran hal itu, kondisi likuiditas bank tidak tepat menjadi alasan di balik tidak banyak bank yang mengakses bantuan penempatan dana pemerintah.
Baca Juga
Likuiditas dapat dipastikan tidak baik-baik saja sehingga bank akan mencari alternatif lain. Salah satunya, bank akan lebih memilih merepokan surat berharga ketimbang mengakses bantuan dari bank jangkar.
“Bank-bank yang mengalami tekanan likuiditas akibat restrukturisasi kredit korporasi, tidak ke bank jangkar tetapi ke pasar uang merepokan surat berharga,” katanya.
Setali tiga uang, Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyepakati tidak semua bank yang melakukan kebijakan restrukturisasi akan mengajukan batuan likuiditas berupa penempatan dana pemerintah. Pasalnya, bank juga dapat melakukan transaksi repo dari kepemilikannya pada SBN.
Berdasarkan data SPI OJK per Maret 2020, portofolio kredit UMKM sekitar 60% dari total kredit UMKM disalurkan melalui Bank Persero. Adapun bank-bank tersebut notabene masuk dalam kategori BUKU IV yang memiliki kondisi likuiditas yang kuat.
“Penanganan kebutuhan likuiditas dipenuhi dari kapasitas internal bank terlebih dahulu melalui PUAB, Repo, PLJP Bank Indonesia sebelum mengajukan permintaan bantuan Likuiditas dari pemerintah,” katanya.
Dihubungi terpisah, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja mengatakan bank akan lebih mudah untuk merepokan SBN daripada mengakses penempatan dana pemerintah ketika memerlukan ruang likuiditas.
Sebagai calon yang cukup kuat untuk menjadi bank jangkar, BCA mengakui setiap pinjaman likuiditas yang diberikan tentu memiliki risiko. Hanya saja hal tersebut tergantung dengan bank pelaksana mana pinjaman likuiditas tersebut disalurkan.
“Namanya penempatan dana atau kredit pasti ada risiko, cuma ada yang besar ada yang kecil,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Djoko Suyanto mengatakan kebijakan penempatan dana pemerintah dibuat sebagai langkah antisipatif jika kondisi likuditas bank memburuk setelah melakukan restrukturisasi.
Meskipun demikian, perbankan diharapkan tidak terlalu mengandalkannya lantaran masih ada alernatif lain bagi bank dalam mencari bantuan likuiditas. BPR yang debiturnya sebagian besar UMKM, memiliki sejumlah alternatif untuk mendapatkan pinjaman likuiditas, seperti Apex BPR maupun Penempatan Dana antarbank (PDAB).
“Tapi, sampai saat ini BPR masih sehat, peraturan itu [penempatan dana pemerintah] kalau tidak tereksekusi kan artinya bank sehat-sehat saja, bank sehat yang kita harapkan, terlebih masyarakat pasti diuntungkan,” katanya.