Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Program PEN, Ekonom Kritisi Proses Penyaluran Dana dari Bank Jangkar

Program penyangga likuiditas dari pemerintah dinilai masih memiliki masalah yang penting untuk segera dicari jalan keluarnya, antara lain soal proses penyaluran dana dari bank jangkar ke bank pelaksana yang memakan waktu lama.
Karyawan keluar dari pintu salah satu gedung Bank Indonesia di Jakarta, Senin, (20/1/2020).  Bisnis/Abdullah Azzam
Karyawan keluar dari pintu salah satu gedung Bank Indonesia di Jakarta, Senin, (20/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Program penyangga likuiditas dari pemerintah dinilai masih memiliki masalah yang penting untuk segera dicari jalan keluarnya, antara lain soal proses penyaluran dana dari bank jangkar ke bank pelaksana yang memakan waktu lama.

Tak hanya itu, potensi bank jangkar untuk ‘pilih kasih’ saat memilih bank yang akan dibantu, juga dianggap bakal tak terelakkan.

Sebagai informasi, Kementerian Keuangan dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan telah menandatangani Keputusan Bersama nomor 265/KMK.010/2020 dan nomor SKB-1/D.01/2020 tentang Koordinasi Pelaksanaan Penempatan Dana dan Pemberian Subsidi Bunga Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Keputusan Bersama ini merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 dan bertujuan untuk memperlancar koordinasi antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Keputusan ini juga untuk mengoptimalkan pemberian informasi dari OJK dalam rangka penempatan dana dan pemberian subsidi bunga sebagai pelaksanaan Program PEN, khususnya dalam penetapan Bank Peserta, penempatan dana atau perpanjangan penempatan dana pada Bank Peserta, serta pemberian subsidi bunga. Keputusan bersama ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan hingga akhir tahun depan.

Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan aturan mekanisme penyaluran dana bantuan dari pemerintah melalui bank jangkar masih terlalu ketat.

Dia menyebutkan mekanisme saat ini seperti perusahaan pengelolaan aset (PPA) yang membutuhkan evaluasi dalam sebelum penyaluran likuditasnya.

"Memang prosesnya cukup panjang sekali untuk dapat memberikan likuiditas itu. Kalui dilihat dari PMK-nya mekanisme ini sangat panjang," katanya kepada Bisnis, Kamis (11/6/2020).

Menurutnya, penyaluran likuiditas dari bank jangkar seharusnya dapat dilakukan seperti halnya bisnis biasa di mana setiap kredit yang restrukturisasi menjadi jaminan.

“Harusnya bisa seperti factoring biasa dan tidak perlu menjalani analisa yang lama. Terlebih, yang akan mengajukan bantuan likuiditas ini hanya bank-bank yang solvabilitasnya masih bagus,” ujarannya.

Aviliani pun menuturkan kecenderuangan pilih kasih oleh bank jangkar ke bank pelaksana restrukturisasi cukup tinggi. “Ada diksi ‘kesepakatan para pihak’, maka artinya skema business to business yang berlaku di sini. Dan bisa saja, bank jangkar pilih-pilih bank pelaksana yang dianggapnya aman, dan ini memicu conflict of interest,” katanya.

Di luar itu, Aviliani berpendapat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harusnya bisa berperan aktif dalam menjaga likuiditas bank di tengah pandemi ini.

Dengan dana kelolaan yang sangat kuat, LPS harusnya bisa menempatkan dana sementara ke bank-bank yang mengalami pengetatan.

“Hal ini justru lebih logis dilakukan oleh LPS, ketimbang harus menunggu bank gagal yang membuat beban penanganannya menjadi lebih mahal. Lagi pula semua bank kan patungan ke LPS, harusnya bisalah mendapat bantuan pula dari LPS,” ujarnya.

Senada, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah dengan kondisi tersebut, ada kemungkinan bantuan likuiditas ini tidak banyak dimanfaatkan oleh bank-bank kecil yang sebenarnya sangat membutuhkan bantuan.

Piter menyebut salah satu ketentuan bahkan mensyaratkan bank yang bisa mengajukan proposal bantuan likuiditas adalah bank yang sehat atau sangat sehat. Persyaratan ini bisa jadi sulit atau bahkan sangat sulit dipenuhi oleh bank yang mengalami kesulitan likuiditas.

Padahal, jika bank dalam kondisi sehat hingga sangat sehat, besar kemungkinan bank tersebut tidak memerlukan likuiditas.

“Kalau banyak bank sehat dan sangat sehat yang bisa mengajukan proposal bantuan, lalu ke mana bank yang kurang sehat bisa meminta bantuan? Sementara mereka yang sesungguhnya membutuhkan bantuan,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : M. Richard
Editor : Ropesta Sitorus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper