Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sedang diwacanakan untuk diberikan kewenangan lebih membantu likuiditas bank sebelum masuk kategori bank bermasalah.
Meski hal ini tergolong memungkinkan untuk dilakukan dalam masa pandemi, tetapi banyak pula pertimbangan yang perlu dijadikan pembahasan lebih lanjut.
Sebagai informasi, wacana ini sedang digodok oleh Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) bersama pemerintah.
Baca Juga : Apakah Ada Bank Gagal? Ini Jawaban Bos LPS |
---|
LPS nantinya diharapkan bisa memberikan penempatan dana langsung ke bank yang berada di ujung tanduk, baik sistemik maupun non-sistemik. Dengan dana yang dikelola, LPS dinilai mampu menempatkan dananya agar bank tidak sampai menjadi gagal bayar.
Anggota Komisi XI Dari Fraksi PDIP Hendrawan Supraktikno tak menampik adanya pembicaraan tersebut. Namun, dia menilai undang-undang yang berlaku saat ini sudah cukup untuk mengatasi semua permasalahan likuiditas perbankan tanpa harus membuat hal baru yang justru membuka banyak celah fraud.
"Kita sudah punya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Kita ikuti UU-nya saja, supaya meredam kemungkinan membiaknya aji mumpung di industri jasa keuangan ini," katanya, Senin (22/6/2020).
Karyawan membersihkan logo baru Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Jakarta, Selasa (23/4/2019)./ANTARA-Audy Alwi
Dia melanjutkan kecenderungan untuk pemanfaatan yang salah dari fasilitas likuiditas ekspansif selalu tinggi. Perilaku manusia khususnya dalam lembaga atau institusi keuangan pun harus selalu diantisipasi.
"Isaac Newton pernah menyatakan bahwa kita bisa menghitung pergerakan benda langit, tetapi tidak dengan kegilaan orang," imbuhnya.
Sementara itu, Kepala Eksekutif LPS Lana Soelistianingsih masih enggan untuk berkomentar banyak.
"Wacana itu dibicarakan oleh di Banggar. Kami hanya mendengarnya saja, tetapi belum diberikan informasi lebih lanjut mengenai hal tersebut," katanya.
Pengamat Perbankan dari Universitas Bina Nusantara Doddy Ariefianto menjelaskan rejim yang digunakan saat ini hanya memperbolehkan LPS untuk menangani bank yang sudah dinyatakan gagal oleh OJK.
"Jadi OJK harus menyatakan terlebih dahulu suatu bank itu gagal, kalau sistemik itu dibawa ke Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Jika tidak sistemik OJK yang akan memberitahu LPS langsung dan LPS melakukan kajian lagi," paparnya.
Doddy pun berpendapat wacana ini membuka potensi moral hazard yang cukup tinggi. Bank-bank yang harusnya dapat menyelesaikan masalahnya sendiri justru menjadi bergantung pada pemerintah sehingga menimbulkan kerugian besar.
"Makanya, kan dulu membengkaknya bisa sampai Rp600 triliun, moral hazard itu yang harus diingat. Kekurangan likuiditas sedikit langsung dibantu oleh Bank Indonesia," ujarnya.
Walau demikian, Doddy berpendapat bahwa pemberian kewenangan yang lebih kontributif dari LPS memungkinkan, terlebih dalam kondisi saat ini yang sangat tidak biasa yang membuat kebutuhan likuditas bank menjadi sangat tidak terduga.
Perbankan juga bukan lembaga yang dapat dibiarkan serta merta tutup, karena akan membuat kepanikan besar di tengah masyarakat.
"Hanya wacana ini membutuhkan dukungan pemerintah sekaligus politik agar dasar undang-undangnya matang. Ketika diimplementasi LPS pun dapat bekerja tanpa kekawatiran. Apa lagi ini merupakan wacana yang cukup serius," katanya.
Karyawan beraktivitas di dekat logo Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Jakarta, Selasa (23/4/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menyebutkan pun menilai kemampuan LPS cukup mumpuni dengan tambahan tugas baru.
"Selama ini sudah tangani banyak bank perkreditan rakyat, dan saya rasa juga masih bisa jika harus diminta untuk membantu penempatan dana sebelum bank disebut menjadi gagal," katanya.
Dia berpendapat potensi moral hazard tentu tetap ada dalam rencana ekspansi tugas LPS tersebut. Hanya saja, risiko tersebut dinilainya tergolong kecil lantaran LPS sudah memiliki sistem informasi yang mutakhir.
LPS juga memiliki staf muda ahli yang mampu mendeteksi kebutuhan likuiditas bank sekaligus tetap mampu meminimalisir semua potensi fraud.
Pihak independen pun juga terus melakukan pengawasan secara ketat, karena setiap laporan perbankan dilaporkan baik kinerja keuangan maupun good corporate governance (GCG) secara berkala.
"Potensi moral hazard tentu ada tetapi kecil. Kondisi perbankan kita sangat berbeda dengan perbankan pada 1998. Transparansi sudah sangat bagus dan kapasitas pencegahan sudah sangat baik. Yang pentingkan transparansi," ujarnya.