Bisnis.com, JAKARTA – Investor di instrumen reksa dana diminta untuk tidak panik dalam menghadapi potensi kerugian yang dapat terjadi di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Kondisi ini justru menjadi peluang emas untuk menambah nilai investasi.
Direktur Infovesta Utama Parto Kawito mengatakan pandemi virus corona yang terjadi sejak Maret lalu membuat banyak investor reksa dana mengalami potensi kerugian investasi. Hal tersebut utamanya terjadi pada produk reksa dana saham atau yang underlying asset investasinya adalah saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Parto menjelaskan potensi kerugian tidak hanya terjadi di reksa dana berbasis saham. Jenis reksa dana lain, seperti reksa dana pendapatan tetap juga mengalami fase naik-turun seiring pergerakan harga obligasi yang menjadi underlying-nya.
Kendati demikian, menurutnya selama investor tidak mencairkan atau melakukan redemption atas reksa dananya, maka hal itu masih dapat disebut sebagai potensi rugi.
Dia menyarankan pada situasi saat ini sebaiknya investor tidak panik atau melakukan redemption reksa dananya. Pasalnya, selama unit penyertaan masih ada di rekening investor, penurunan aset reksa dana yang terjadi baru menciptakan potensi kerugian.
“Kerugian baru terjadi ketika investor melakukan redemption atas reksa dana yang dimilikinya,” ujar Parto dikutip dari keterangan resminya, Sabtu (4/7/2020).
Baca Juga
Dia mengatakan masa krisis justru membuka memberikan peluang investasi karena nilai unit investasi menjadi terdiskon. Hal ini menjadi kesempatan buat investor untuk melakukan top up.
Menurutnya, strategi average down membuat harga pembelian rata-rata menjadi turun. Dengan demikian, ketika kondisi pasar mulai membaik, posisi untung lebih mudah dicapai dibandingkan dengan tanpa melakukan average down.
"Justru kalau ada uang sekarang waktunya top up, jadi harga rata-ratanya semakin baik. Ini saatnya membalikkan kerugian," ujar Parto.
Fluktuasi nilai investasi di reksa dana sebenarnya merupakan hal biasa. Parto menerangkan, Indonesia sempat mengalami beberapa kali masa krisis dan terbukti dapat melewatinya dengan baik, seperti pada tahun 1998 dan 2008 akibat krisis keuangan di Amerika yaitu subprime mortgage facility.
“Industri reksa dana di Indonesia juga terkena dampaknya. Pada 1998 saham turun, 2008 turun, ternyata kemudian saham dan reksa dana berbalik dan kembali naik lagi," kata Parto.
Salah satu kelebihan industri ini adalah reksa dana merupakan salah satu sektor yang sangat teregulasi. Dia mencontohkan ketika investor mulai memasukan dananya, setiap manajer investasi akan menjalankan kebijakan know to your customer (KYC) untuk mengetahui asal usul dana investasi.
Regulasi sektor reksa dana membuat tiap dana investasi yang masuk dengan nilai tertentu, contohnya sekitar Rp 100 juta, dapat diketahui sumber dananya. Dengan demikian, kebijakan ketat yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat mencegah tindak pidana pencucian uang.
Untuk memastikan tidak terjadi penyimpangan dalam pengelolaan dana investor, sesuai ketentuan OJK, dana investor di simpan di rekening terpisah di bank kustodian.
Sementara sebagai jasa pengelolaan dana investasi tersebut manajer Investasi mendapatkan fee yang besarnya sudah ditetapkan di awal. Besarnya beragam mulai 1-2 persen per tahun dari nilai investasi investor.
Berinvestasi di reksa dana pun dapat diatur sesuai tujuan investasi, profil risiko, jangka waktu dan nilai investasi dari pemilik dana. Dengan memahami empat hal tersebut investor diharapkan bisa mencapai target investasinya secara optimal.
“Setiap produk investasi seperti reksa dana pasti memiliki risiko, termasuk mengalami kerugian investasi. Tetapi dengan strategi yang tepat dan memahami produknya, risiko investasi itu bisa dikelola dengan baik,” pungkasnya.