Bisnis.com, JAKARTA— PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. mengaku telah mengajukan revisi rencana bisnis bank (RBB) ke Otoritas Jasa Keuangan akibat penyebaran virus corona. Berikut uraiannya.
Direktur Keuangan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Sigit Prastowo mengatakan revisi RBB tersebut menyesuaikan dengan adanya pandemi virus corona yang berdampak pada perekonomian. Selain itu, seiring dengan adanya revisi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang menjadi minus 0,4 persen hingga 1 persen, BNI pun semakin mempertimbangkan revisi RBB tahun ini.
"Covid juga membuat banyak debitur-debitur BNI mengalami kesulitan sehingga dilakukan restrukturisasi antara lain dengan penundaan angsuran pokok dan bunga," katanya kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Menurutnya, kondisi perekonomian yang terdampak virus corona dan kesulitan yang dialami debitur, akan berdampak pada penurunan pendapatan bunga. Penyebaran virus corona juga akan menyebabkan sebagian debitur mengalami penurunan kolektibilitas. Oleh karena itu, emiten berkode saham BBNI itu saat ini mulai melakukan penambahan biaya pencadangan.
Berdasarkan laporan keuangan bulanan BNI, perseroan telah menambah cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) dari sebelumnya Rp32,184 triliun pada April 2020 menjadi Rp33,491 triliun pada Mei 2020. Besaran CKPN pada Mei 2020 lebih besar daripada yang dilakukan pada Mei 2019 yang senilai Rp15,390 triliun.
Perlu diketahui, penambahan CKPN yang cukup besar tersebut telah dilakukan sejak awal tahun. Pada akhir 2019, besaran CKPN BNI adalah senilai Rp15,837 triliun kemudian menjadi RP31,529 triliun pada kuartal I/2020. Penambahan CKPN tersebut pun mengerus pertumbuhan laba BNI.
Baca Juga : Ada Corona, BNI Tetap Dukung Ekspor Nasional |
---|
Per Mei 2020, BNI mampu membukukan laba senilai Rp4,756 triliun atau tumbuh 0,36% dari sebelumnya Rp4,739 triliun pada April 2020. Apabila dibandingkan dengan kondisi periode sama tahun lalu, perolehan laba BNI mengalami penurunan 12,19 persen pada Mei 2020.
"Covid-19 juga akan menyebabkan sebagian debitur diperkirakan menurun kolektibilitasnya sehingga diperlukan tambahan pencadangan. Jadi laba tentu akan mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya," katanya.
Sebelumnya, Direktur Utama BNI Herry Sidharta mengatakan perseroan akan memprioritaskan sektor padat karya untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi seiring dengan pembukaan pembatasan sosial skala besar (PSBB).
BNI menilai masa transisi menjadi kesempatan bagi perseroan untuk mempercepat pertumbuhan kredit pada kuartal III dan kuartal IV. Menurutnya, seiring dengan upaya menggenjot pertumbuhan kredit, perseroan juga akan tetap mempertimbangkan kualitas kredit.
Kebijakan restrukturisasi dan penyaluran pembiayaan yang terkontrol menjadi langkah BNI untuk menjaga kualitas kredit. Hingga Mei 2020, Herry menilai rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) BNI masih di bawah 3 persen dengan nilai Rp12 triliun. Sementara itu, risiko kredit atau loan at risk (LaR) di luar relaksasi mencapai 10 persen.
Meski tidak menyebutkan secara pasti komposisi LaR restrukturisasi dan di luar restrukturisasi, Herry menjamin rasio kredit lebih banyak pada posisi performing loan.
"Harapannya kita akan segera pulih kembali untuk bisa meraih kesempatan yang sudah ada, supaya pengusaha-pengusaha tidak menunggu," katanya.