Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dinilai perlu meningkatkan komunikasi kepada investor terkait dengan rencana revisi Undang-undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) yang memberikan otoritas lebih kepada pemerintah terhadap BI.
Kepala Ekonom Asia-Pasifik di S&P Global Ratings Shaun Roache mengatakan pasar ingin tahu secara spesifik apa yang selama ini tidak berjalan dengan baik di BI dan pemerintah, serta kerangka kerja seperti apa yang menurut mereka lebih baik.
"Ini adalah saat yang tepat untuk memikirkan kembali kebijakan makro termasuk di pasar negara berkembang, tetapi BI perlu menjelaskan masalah apa yang mereka coba selesaikan dan bagaimana mereka akan menyelesaikannya dengan langkah semacam ini," katanya, seperti dilansir melalui Bloomberg, Kamis (3/9/2020).
Dia menjelaskan, bank sentral di negara berkembang sering mengalami kesenjangan kredibilitas dan bank sentral ini harus bekerja lebih keras dalam hal komunikasi ketimbang The Fed atau The ECB misalnya.
"Prinsip umum bahwa perlu ada lebih banyak koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter menjadi biasa sekarang, jadi wajar jika pasar negara berkembang akan memikirkan hal-hal yang serupa dengan pasar negara maju," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, salah satu poin yang menjadi sorotan dalam RUU BI adalah pengajuan terkait dengan penghapusan pasal 9 di dalam UU tersebut.
Pasal ini menjelaskan bahwa pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI. Hal ini memberikan kekhawatiran bahwa BI akna mudah diintervensi, yang selama ini BI bersifat independen.
Di samping itu, Dewan Moneter juga diusulkan untuk dibentuk kembali. Dewan Moneter disebutkan untuk memimpin, mengkoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian.
Dewan Moneter terdiri dari 5 anggota, yaitu Menteri Keuangan dan satu orang menteri yang membidangi perekonomian; Gubernur Bank Indonesia dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia; serta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.