Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menekankan industri asuransi perlu mencari titik keseimbangan antara pemanfaatan teknologi informasi (IT) dengan mitigasi risiko yang menyertainya.
Hal ini diungkap Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Riswinandi, dalam Seminar Virtual Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI): Industri Asuransi Umum dan Reasuransi, Kamis (24/9/2020).
Menurut Riswinandi, kondisi pandemi Covid-19 ini memang bisa menjadi momentum pemanfaatan TI untuk meningkatkan daya saing industri asuransi nasional.
Pasalnya, pandemi telah mendorong perubahan perilaku konsumen dalam mengoptimalkan teknologi untuk memperoleh layanan jasa keuangan.
"Yang lebih menarik lagi sebagian besar dari responden akan mempertahankan pola transaksi tersebut pada periode mendatang. Maka, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan TI oleh pelaku usaha dalam mendukung layanan atau proses bisnis merupakan keniscayaan," jelasnya.
Namun demikian, demi mengatasi risiko ketidaksesuaian penjualan produk atau misselling, Riswinandi mengungkap dua hal mampu menjadi kuncinya.
Pertama, perusahaan asuransi perlu ikut meningkatkan literasi produk-produk asuransi kepada masyarakat Indonesia.
Pasalnya, berdasarkan hasil survei OJK pada 2019, indeks literasi asuransi masih 19,40 persen, jauh lebih rendah dari literasi terhadap perbankan di angka 36,12 persen.
Kedua, Riswinandi memperhatikan bahwa kebanyakan kasus misselling terjadi karena perusahan asuransi memasarkan produk dengan spesifikasi relatif kompleks, sementara platform IT yang digunakan tidak dilengkapi dengan fitur optimal dalam hal interakasi kepada nasabah.
"Jika ini tidak ditangani dengan baik, maka menimbulkan risiko reputasi yang dapat merugikan industri asuransi secara keseluruhan. Terutama di tengah berbagai sentimen negatif yang menerpa industri ini selama beberapa tahun terakhir," jelasnya.
Inilah alasannya, kenapa OJK mempersyaratkan adanya pemeriksaan terhadap platform TI yang dipergunakan perusahaan asuransi ketika berminat menjual produknya secara digital, atau tanpa tatap muka dengan nasabah.
Riswinandi menekankan, sistem TI penjualan produk asuransi yang mendapat izin OJK, harus mapan dan mampu mendukung, terutama dalam kemudahan interaksi, serta tersedia rekaman yang dapat terintegrasi langsung dengan sistem perusahaan.
"Untuk informasi, sudah ada 10 perusahaan yang mengajukan, tetapi yang mendapatkan izin baru enam, yang empat ini masih dalam proses. Kami lihat dari situ, memang yang sudah berjalan itu kebanyakan asuransi joint-venture yang didukung sistem IT yang kuat oleh kantor pusatnya," tutupnya.