Bisnis.com, JAKARTA — Penyelenggaraan program pensiun di Indonesia dinilai belum optimal, padahal jumlah penduduk dan tenaga kerja yang sangat besar menyimpan potensi. Reformasi struktural dana pensiun pun perlu menjadi perhatian.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Syarifudin Yunus menjelaskan bahwa tingkat inklusi dana pensiun saat ini baru sekitar 6 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa program pensiun belum menarik dan tidak mudah diakses oleh masyarakat.
Sementara itu, menurut Syarif, potensi dana pensiun sangat besar seiring adanya 130 juta pekerja, yang terdiri dari 74 juta di sektor informal dan 55 di sektor formal. Sayangnya potensi itu belum dapat dioptimalkan karena berbagai kendala, sehingga reformasi struktural dana pensiun perlu dilakukan.
"Harmonisasi regulasi sangat penting untuk majunya program pensiun, sangat mendesak untuk merevisi Undang-Undang [11/1992 tentang] Dana Pensiun karena sudah terlalu lama dan belum sesuai dengan dinamika zaman. Reformasi sangat perlu," ujar Syarif kepada Bisnis, Kamis (22/10/2020).
Perkumpulan DPLK memberikan sejumlah masukan bagi pemerintah untuk melakukan reformasi struktural dana pensiun di Indonesia.
Pertama melalui revisi aturan dasar dana pensiun disertai harmonisasi aturan setelahnya.
Kedua, pemerintah harus mempermudah akses dana pensiun melalui teknologi digital. Menurut Syarif, aksesibilitas menjadi kunci agar masyarakat bisa mengetahui lalu memahami pentingnya menyiapkan dana untuk masa tua kelak, dan hal tersebut perlu dilakukan pemerintah bersama dengan pelaku industri.
"Ketiga, kepesertaan dana pensiun harus lebih fleksibel, misalnya bisa dibeli untuk anak, istri, dan sebagainya," ujarnya.
Keempat, pemerintah perlu mengaitkan pendanaan pesangon dengan program pensiun. Saat ini pemerintah mewajibkan pemberi kerja untuk mendanakan pesangon bagi pekerjanya, tetapi pelaksanaannya belum optimal, sehinga perlu perbaikan sambil menggabungkannya dengan dana pensiun.
Kelima, besaran iuran dana pensiun perlu dibuat fleksibel untuk memperbesar top up. Menurut Syarif, hal tersebut dapat membuat masyarakat memperoleh manfaat dan imbal hasil yang maksimal, sesuai kemampuan iurannya.
"Keenam, penyelenggara dana pensiun Program Pensiun Iuran Pasti [PPIP] diperluas. Skema yang objektif memang PPIP agar program pensiun bisa optimal, bukan Program Pensiun Manfaat Pasti [PPMP] atau model pay as you go yang sekarang banyak digunakan pemberi kerja," ujarnya.
Ketujuh, pemerintah dinilai perlu memberikan insentif pajak untuk peserta individu program pensiun. Terakhir, kedelapan, program anuitas perlu ditinjau ulang atau ditiadakan, sehingga program pensiun dapat fokus pada pengelolaan dananya.
"Jadi, reformasi program pensiun sangat mendesak, agar industri dana pensiun bisa berperan lebih besar dalam pembangunan nasional dan upaya meningkatkan kesejahteraan pensiunan atau masyarakat. Sehingga pensiun tidak jadi beban negara ataupun orang lain," ujar Syarif.