Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan skenario terburuk bagi industri pembiayaan jika lesunya perekonomian akibat pandemi Covid-19 tak juga membaik hingga akhir 2021.
Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W Budiawan menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan pemetaan atas hasil stress-test kepada perusahaan pembiayaan atau multifinance.
"Juni 2020 dari 180 multifinance itu sekitar 88 persen masih tergolong sehat. Sisanya 12 persen memang sedang struggling antara kurang sehat dan tidak sehat," ujarnya dalam dalam dialog virtual Bisnis Indonesia terkait industri multifinance: 'Urgensi Relaksasi Kebijakan Guna Mendorong Kinerja', Selasa (10/11/2020).
Bambang menjelaskan lebih lanjut dalam skenario stress-test dengan variabel yang lebih buruk, bahkan ada potensi jumlah multifinance sehat kembali turun, menjadi 75 persen saja.
"Jadi terpangkas 25 persen atau sekitar 45 [perusahaan] itu di akhir Maret 2021 akan mengalami masalah. Waktu mereka tinggal 4-5 bulan ini untuk mempertahankan bisnisnya, survive dalam kondisi seperti ini," tambahnya.
OJK memahami bahwa hal ini bukan hanya dampak dari demand pembiayaan yang belum pulih betul. Namun juga berkaitan dengan likuiditas masing-masing perusahaan yang terdampak restrukturisasi.
Baca Juga
Data terakhir OJK mengenai permohonan restrukturisasi nasabah multifinance telah mencapai 5,4 juta kontrak pembiayaan dengan outstanding pokok Rp162,6 triliun dan bunga Rp42,8 triliun.
Pengajuan yang masih berproses sekitar 5,5 persen dari pengajuan atau 301 ribu kontrak dengan outstanding pokok Rp11 triliun dan bunga Rp2,4 triliun.
Sementara itu, permohonan restrukturisasi yang sudah disetujui mencapai 88,9 persen dari pengajuan, atau dengan jumlah kontraknya 4,8 juta, dan nilai outstanding Rp141 triliun dengan bunga Rp37,9 triliun.
"Ada juga kontrak yang tidak sesuai kriteria, atau coba-coba kemudian ditolak multifinance. Jumlahnya 303.000 kontrak atau 5,6 persen, dengan nilai outstanding Rp9,9 triliun dan bunga Rp2,5 triliun. Jadi di era seperti ini masih ada debitur yang tidak terdampak tapi mengajukan restrukturisasi," tambahnya.
Lebih lanjut, dia menambahkan proses restrukturisasi ini akan mempengaruhi kemampuan multifinance dalam melunasi angsuran kepada para pendananya, seperti perbankan dan investor dari surat utang yang diterbitkan.
Catatan OJK hingga September 2020, terdapat 26 multifinance yang melakukan restrukturisasi pinjamannya kepada perbankan, sementara 17 multifinance masih dalam proses negosiasi. Dengan adanya restrukturisasi pinjaman ini, diharapkan perusahaan pembiayaan dapat mengelola ulang kewajiban pembayaran kepada kreditur sehingga bisa bertahan di tengah pandemi Covid-19 ini.
"Memang berat, tapi dari perkiraan kami, apabila perusahaan pembiayaan dalam 5 tahun terakhir cukup memupuk cadangan labanya, atau tidak dibagikan sebagai dividen, bisa bertahan sampai akhir tahun depan, dari assesment kami. Tapi juga tidak sedikit yang tidak cukup memupuk labanya dan berpotensi ke depannya terancam tidak survive," ungkap Bambang.
Dia menuturkan, beberapa multifinance yang terancam limbung pun, sebenarnya sudah mengalami masalah sejak sebelum pandemi. Misalnya memiliki tingkat kredit bermasalah tinggi, modal menyusut, dan governance awut-awutan.
Bahkan, Bambang mengungkap hingga kini sudah ada tiga sampai empat perusahaan multifinance yang tidak sanggup meneruskan usaha atau mengembalikan izinnya ke OJK.
Lebih lanjut, dia menilai aksi merger dan akuisisi di industri multifinance menjadi sebuah keniscayaan pada waktu yang akan datang. Aksi korporasi akan tecara alamiah karena industri ini masih dinilai prospektif untuk masa depan.