Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menilai bahwa IFG Life memiliki potensi besar untuk berkembang dan menjadi pemimpin industri, seperti halnya PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dulu. Namun, IFG Life dinilai harus menjadi perusahaan yang sehat.
Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu menilai bahwa pembentukan IFG Life oleh pemerintah, melalui PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) atau Indonesia Financial Group (IFG) merupakan langkah yang menjanjikan. Perusahaan asuransi jiwa baru itu memiliki potensi untuk berkembang.
Togar menilai bahwa potensi itu ada karena IFG Life merupakan perusahaan pelat merah yang memiliki target bisnis sangat besar, baik masyarakat umum maupun captive market Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, berkaca dari kasus Jiwasraya, pengelolaan perusahaan menjadi kunci agar IFG Life berkembang dengan baik.
"Bisa lah [IFG berkembang pesat], tapi tergantung pengelolaannya, harus profesional, memperhatikan good corporate governance. Kalau menurut saya sih mestinya bisa, apalagi Pak Erick [Menteri BUMN] orang bisnis, arahannya harus pas," ujar Togar kepada Bisnis, Rabu (2/12/2020).
Dia menilai bahwa salah satu kunci agar IFG Life dapat tumbuh pesat yakni dengan memiliki orang-orang yang tepat di jajaran manajemen. Direksi dan komisaris perseroan harus merupakan orang yang memahami bisnis asuransi agar pengelolaan dan arah kerja berjalan maksimal.
"Pastinya kami berharap IFG Life bisa lebih besar dari Jiwasraya. Dengan harapan tentunya tidak di 'kandang' saja, tapi bisa berkembang ke skala regional," ujar Togar.
IFG Life kerap dinilai sebagai perusahaan yang 'mewarisi darah' Jiwasraya sebagai perusahaan asuransi jiwa pelat merah. Bukan hanya itu, terdapat pula transfer polis ke IFG Life melalui skema restrukurisasi sebagai salah satu upaya penyelamatan dana nasabah.
Pada 2021, IFG Life akan memperoleh setoran modal pertama senilai Rp26,7 triliun yang terdiri dari berbagai sumber, salah satunya penanaman modal negara (PMN). Selain sebagai modal perusahaan, dana itu pun menjadi bantalan untuk menopang liabilitas polis hasil restrukturisasi dari Jiwasraya.
Pada tahun selanjutnya, pemerintah merencanakan PMN lanjutan dengan nilai sekurang-kurangnya Rp10 triliun. Total modal minimal Rp36,7 triliun dalam dua tahun itu akan menjadi 'bensin' awal bagi IFG Life untuk menjalankan bisnisnya, bahkan berpotensi menjadi asuransi jiwa pelat merah satu-satunya yang beroperasi.
Hal tersebut terjadi karena menurut Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko, pasca restrukturisasi polis pada awal 2021, perseroan tidak akan lagi beroperasi sebagai perusahaan asuransi jiwa. Namun, perseroan akan berfungsi layaknya pengelola utang, yakni untuk memenuhi polis-polis nasabah yang tidak menyetujui restrukturisasi polis.
Sebagai gambaran, Jiwasraya pernah menjadi pemimpin pasar asuransi jiwa beberapa tahun yang lalu. Bisnis mencatat bahwa pada 2017, total aset Jiwasraya senilai Rp45,68 triliun menempati peringkat kedua perusahaan asuransi jiwa dengan aset tertinggi di Indonesia.
Namun, capaian itu diperoleh melalui polis saving plan yang kemudian diketahui sebagai skema ponzi. Pada 2017 Jiwasraya mencatatkan total premi Rp21,91 triliun, 75,3 persen di antaranya atau Rp16,54 triliun berasal dari produk saving plan.
Hanya dalam setahun, yakni pada 2018 saat perseroan mengumumkan gagal bayar, total premi menyusut jadi Rp10,67 triliun dan premi saving plan hanya 51,1 persen di antaranya atau Rp5,46 triliun. Produk itu pun menjadi biang keladi ambruknya kondisi keuangan Jiwasraya.