Bisnis.com, JAKARTA -- Merger tiga bank syariah menjadi tonggak penting ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Pemerintah akhirnya menggabungkan tiga bank syariah milik BUMN paling lambat awal 2021. Bank hasil merger diperkirakan masuk top 10 bank dengan aset terbesar Indonesia.
Meski hadir sejak 1991, bank syariah belum menjadi pilihan utama masyarakat. Sumbangan aset bank syariah terhadap total aset bank nasional tidak pernah beranjak jauh dari 5%. Posisi ini jauh tertinggal dibandingkan dengan negara muslim lain seperti Mesir (9,5%), Pakistan (10,4%), dan Malaysia (28,2%).
Sebelumnya, masing-masing bank BUMN memiliki bank syariah. Niat awalnya bagus, untuk perluasan jangkauan pasar dan akses likuiditas kepada bank induknya. Namun, kompetisi antarbank syariah tersebut ternyata tidak bisa mendukung akselerasi industri. Butuh kapasitas yang besar untuk berlari bersama bank konvensional.
Tingkat literasi ekonomi dan keuangan syariah masyarakat Indonesia ternyata belum kuat. Indeks Literasi Ekonomi Syariah 2019 Bank Indonesia menunjukkan hanya 16 dari 100 muslim Indonesia yang sudah mengetahui dan memahami (well literate) aspek pengetahuan prinsip dasar ekonomi syariah, keuangan sosial syariah dan produk/jasa halal.
Kondisi ini diperkuat survei Otoritas Jasa Keuangan di mana tingkat literasi keuangan syariah masyarakat Indonesia yang relatif tetap sepanjang periode 2016—2019. Walhasil tingkat akseptasi konsumen juga terlihat jalan di tempat.
Tantangan juga dihadapi di sisi perbankan.Pertama, dana mahal. Struktur deposito terhadap total dana pihak ketiga (DPK) bank syariah mencapai 51% per September 2020. Sementara itu, bank konvensional BUKU 4 hanya 34%. Mahalnya biaya dana perbankan syariah tentu berdampak pada tingkat efisiensi dan daya saing.
Implikasinya, desain produk pembiayaan jadi terbatas. Pangsa pembiayaan menggunakan akad jual beli (murabahah) masih mendominasi. Dengan akad jual beli, bank memiliki keyakinan berapa imbal hasil yang akan diperoleh. Prosesnya pun lebih sederhana. Namun, seringkali tidak cocok dengan model bisnis UMKM dan korporasi yang membutuhkan fleksibilitas.
Minimnya diferensiasi produk juga menjadikan perbankan syariah kurang dilirik nasabah korporasi dengan kompleksitas kebutuhannya yang tinggi. Bahkan di masa pandemi, rasio pembiayaan modal kerja dan investasi non–UMKM perbankan syariah per September 2020 menurun dari 38,19% menjadi 34,7% (yoy). Inefisiensi perbankan akan berdampak pada kelangsungan operasionalnya pada jangka panjang.
Merger adalah perjalanan, bukan tujuan. Setidaknya ada tiga strategi yang perlu diperhatikan oleh manajemen dan pemerintah untuk mencapai quick wins merger bank syariah yaitu fokus konsumen, desain model bisnis, dan manajemen kultur.
PASAR MILENIAL
Pertama, fokus bisnis pada penciptaan value bagi milenial dan UMKM. Saat ini, pasar milenial dan UMKM justru banyak digarap oleh fintech. Pada 2020, digitalisasi menjadi salah satu penyelamat di kala pandemi. Transaksi e-commerce dan uang elektronik tumbuh di atas 30%. Investasi venture capital asing pun makin banyak mengalir. Pasar Indonesia memang sangat menarik, apalagi dengan komposisi lebih dari 50% adalah milenial dan usia produktif. Hal ini bisa jadi modal menurunkan cost of fund.
Kedua, kolaborasi dan kompetisi dengan dukungan teknologi. Untuk mencapai jangkauan dan operasional yang luas, desain model bisnis bank hasil merger perlu lebih terbuka, modular dan ramah terhadap perkembangan teknologi. Konsep branchless banking dapat dipilih untuk mengurangi biaya overhead perbankan tetapi dengan tetap memperhatikan aspek ke hati-hatian. Bank juga bisa bersinergi dengan fintech untuk perluasan basis konsumen, baik untuk lending maupun funding.
Dengan fintech payment, bank bisa memperluas basis DPK sehingga dapat menggeser konsentrasi dana mahal berbasis deposito menjadi giro atau tabungan. Lebih lanjut, bank juga bisa kolaborasi dengan fintech lending dan e-commerce dalam pengumpulan DPK maupun penyaluran pembiayaan UMKM dengan data alternatif.
Ketersediaan data granular dan teknologi juga mendorong kapabilitas bank syariah untuk mengukur risiko pembiayaan lebih baik. Ujungnya, akad pembiayaan yang ditawarkan juga lebih variatif, tidak melulu akad jual beli tapi juga akad bagi hasil. Ekosistem ekonomi dan keuangan syariah akan berkembang bukan semata-mata karena fanatisme belaka tetapi juga desain bisnis yang inovatif.
Terakhir, penyatuan kultur. Perlu kesepakatan bersama tentang kultur yang akan dibangun. Transformasi organisasi, pilihan kepemimpinan, dan consumer centric hendaknya menjadi tema utama. Kepemimpinan kuat diperlukan tetapi tetap adaptif dan mau mendengar dari seluruh komponen organisasi. Kultur memang paling abstrak tetapi sangat menentukan dalam keberhasilan merger organisasi, termasuk bank syariah.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (10/12/2020)