Bisnis.com, JAKARTA - Pendanaan ke para pemain platform teknologi finansial (tekfin/fintech) di periode 2021 diproyeksi masih meriah di tengah segera berlakunya regulasi anyar dari otoritas terkait.
Bagi fintech peer-to-peer (P2P) lending, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menggodok revisi regulasi sebelumnya, POJK 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Beleid ini memuat beberapa ketentuan baru, di antaranya memperketat aturan modal dasar dan ekuitas, mewajibkan penyaluran pinjaman ke luar Jawa dan sektor produktif, serta ketentuan baru bagi manajemen dan pemegang saham.
Adapun bagi fintech equity crowdfunding, OJK baru saja menelurkan POJK 57/2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi.
Dalam aturan ini, apabila sebelumnya platform fintech ECF hanya boleh membantu para penerbit (UMKM/startup) untuk mendapatkan akses modal lewat menjual saham, terkini platform juga bisa mengakomodasi penerbitan efek bersifat utang dan sukuk dari para UMKM/startup tersebut.
Menanggapi fenomena ini, Bendahara Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amsevindo) Edward Ismawan Chamdani menilai perusahaan modal ventura memiliki perspektif berbeda terkait dua industri fintech tersebut.
Baca Juga
Untuk P2P lending, menurutnya aturan OJK justru bertujuan untuk menyaring mana pemain yang benar-benar serius dalam menjalankan bisnisnya. Oleh sebab itu, justru rugi bagi MV apabila mengincar atau menolong para pemain kecil yang terganjal aturan permodalan.
"Seperti kita ketahui jumlah pemain P2P saat ini sudah sangat banyak, dan regulator tentunya sudah waktunya untuk fokus bukan dalam pemberian izin operasi saja, namun meningkatkan servis layanan P2P kepada para konsumen," ungkap Edward kepada Bisnis, Minggu (27/12/2020).
Oleh sebab itu, menurut pria yang juga Co-Founder & Managing Partner Ideosource VC dan Gayo Capital ini, para investor justru lebih banyak wait and see sembari menilai mana platform P2P yang potensial untuk diberikan pendanaan.
"Jadi pertimbangan investor MV dalam melakukan investasi tidak terkait kebutuhan urgen dari pemain P2P dalam meningkatkan modal, namun di lihat dari performance mereka dalam jumlah layanan dan transaksi," tambahnya.
Adapun terkait ECF, menurut Edward industri ini lebih siap menerima aturan yang dibuat OJK karena pemainnya masih sedikit, sehingga MV bisa fokus ke pemain baru.
"Layanan urun dana yang bersifat ekuitas dan efek akan menarik untuk diperhatikan juga sebagai potensi investasi para MV di startup sejenis," ujarnya.
Direktur Utama PT Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro mengungkap hal serupa. Prospek dan kinerja platform lebih jadi prioritas.
Menurutnya, apabila suatu platform P2P lending butuh modal karena terganjal aturan, dan berminat memperoleh pendanaan dari MV, platform tersebut harus siap membuat presentasi kinerja yang meyakinkan.
"Harus bisa menunjukkan metrik loan disbursement, outstanding loan, revenues, non-performing loan, dan lain-lain yang apabila sehat, maka kita mestinya akan tetap mendukung, termasuk untuk partisipasi di fundraising," ujarnya.
Eddi mengungkap hal ini juga berlaku untuk platform ECF. Mandiri Capital sendiri telah bertemu beberapa pemain potensial, dan sedang mempelajari regulasi OJK terkait aturan-aturan baru di industri ini.
"Terpenting, para fintech ini harus punya rencana yang matang dan kemauan untuk profit. Kan tidak mungkin sebuah bisnis merugi terus. Platform harus bisa monetize dan punya path to profitability," tutupnya.
Sekadar informasi, hingga akhir 2020, tercatat sebanyak 16 transaksi funding ke sektor fintech telah berlangsung, dengan 10 funding yang nilainya terungkap mencapai US$360 miliar.
Beberapa pemain di sektor P2P lending yang mendapatkan dana segar dari investor di periode 2020 ini, di antaranya Investree pada April dan November, KoinWorks pada April dan Mei, Modalku pada April, AwanTunai pada Juli, serta Pintek pada Mei dan Desember.