Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kinerja Positif, Dana Kelolaan BPJAMSOSTEK Melesat Hampir 100 Persen

Selama lima tahun terakhir, rata-rata total dana investasi BP Jamsostek masih tumbuh 18,74% sedangkan hasil investasi naik 13,63%.
Petugas kebersihan membersihkan logo BPJS Ketenagakerjaan di Jakarta, Rabu (26/8).
Petugas kebersihan membersihkan logo BPJS Ketenagakerjaan di Jakarta, Rabu (26/8).

Bisnis.com, JAKARTA — Kabar pemeriksaan sejumlah pegawai dan direksi Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan alias BP Jamsostek mencuat beberapa waktu terakhir. Kejaksaan Agung menduga ada kerugian negara dalam pengelolaan investasi yang dilakukan badan tersebut.

Berita pemeriksaan ini menimbulkan pertanyaan, khususnya di kalangan pekerja, bagaimana nasib dana mereka yang disimpan dalam program Jamsostek? Tak hanya itu, sejumlah pengamat juga menilai hal menjadi salah satu sentimen yang membuat indeks harga saham gabungan (IHSG) melorot beberapa hari terakhir.

Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, pengelolaan dana yang dilakukan BP Jamsostek masih positif dan bahkan mampu mendulang cuan di tengah masa pandemi. Mari simak data berikut ini.

Sepanjang 2020, penerimaan iuran (unaudited) dari peserta Jamsostek tercatat senilai Rp73,31 triliun. Angka itu masih relatif stabil dibandingkan dengan akhir 2019 kendati pada tahun lalu pemerintah mengeluarkan PP No.49/2020 tentang Relaksasi Iuran Program JKK, JK sebesar 99 persen dan penangguhan Program JP sebesar 99 persen.

Jumlah iuran itu ditambah pengelolaan investasi, mengerek total dana kelolaan BP Jamsostek menjadi Rp486,38 triliun per akhir Desember 2020, naik 11,24% secara year on year (yoy). Adapun, cuan investasi yang dibukukan BP Jamsostek mencapai Rp32,30 triliun, naik 9,60%, dengan yield on investment (YOI) 7,38%.

Bila dirata-ratakan dalam lima tahun terakhir, total dana investasi BP Jamsostek masih tumbuh 18,74% sedangkan hasil investasi naik 13,63%.

Secara khusus, untuk pengembangan program jaminan hari tua (JHT), BP Jamsostek masih mampu mencatatkan hasil 5,63%, di atas rata-rata deposito bank pemerintah yakni 3,87%. Bila ditarik mundur hingga 2016 pun, hasil pengembangan dana JHT selalu lebih tinggi dari tingkat bunga deposito.

Angka-angka tersebut menandai bahwa hasil positif yang dilakukan institusi tersebut dari sisi investasi. BP Jamsostek memang menyebarkan dana keloaannya di sejumlah instrumen demi mengembangkan portofolionya secara maksimal. Bahkan di tengah masa pandemi pun, BP Jamsostek melakukan penambahan saham di sejumlah emiten seperti BMRI.

Per 31 Desember 2020, sebanyak 64% investasi BP Jamsostek ditempatkan di surat utang, 17% di saham, 10% di deposito, 8% di reksadana, dan 1% investasi langsung. Artinya, sekitar 74% investasi ditempatkan di instrumen fixed income dan 25% ada di pasar modal, melalui saham dan reksadana.

Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BP Jamsostek Irvansyah Utoh Banja menyatakan investasi BP Jamsostek dilaksanakan berdasarkan PP No. 99 tahun 2013 dan PP No. 55 tahun 2015, yang mengatur jenis instrumen-instrumen investasi yang diperbolehkan berikut dengan batasan-batasannya. Ada juga Peraturan OJK No.1/2016 yang juga mengharuskan penempatan pada Surat Berharga Negara sebesar minimal 50 persen.

Akan tetapi, tak bisa dipungkiri, investasi memiliki dua gendang yakni untung dan rugi, terlebih lagi investasi di pasar modal yang memang dikenal fluktuatif mengikuti pergerakan harga saham. Namun, selama tidak dijual, maka potensi kerugian atau keuntungan itu hanyalah di atas kertas alias unrealized loss ataupun unrealized gain.

Hal ini diamini oleh Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan Bursa Efek Indonesia (BEI) Kristian S. Manullang. Dia menegaskan, selama belum direalisasikan belum dapat dianggap sebagai kerugian yang pasti.

Apalagi, sebanyak 98% portofolio BP Jamsostek ada pada saham kelompok LQ45 dan 2% lainnya di emiten yang pernah masuk kategori LQ45. Asal tahu saja, kategori LQ45 merupakan daftar saham yang dinilai unggul serta memiliki aktivitas transaksi dan ukuran saham atau kapitalisasi pasar sesuai parameter yang ditetapkan bursa. Emiten pengisi daftar LQ45 juga dapat berubah dari waktu ke waktu.

Akan tetapi, saham-saham unggulan juga ikut anjlok saat IHSG terkapar tahun lalu. Data BEI menunjukkan IHSG terkoreksi 5,09 persen sepanjang 2020 dan indeks LQ45 turun 7,85 persen.

Kondisi ini pula yang dinilai menjadi pintu masuk bagi Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam melakukan pemeriksaan potensi kerugian negara di BPJS Ketenagakerjaan. Kejagung menilai ada dugaan kerugian negara yang dilakukan akibat pola korupsi yang sama seperti PT Asuransi Jiwasraya dengan nilai lebih dari Rp40 triliun.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan bahwa saat ini beredar informasi penyidikan Kejaksaan Agung terhadap BPJS Ketenagakerjaan didasari oleh adanya unrealized loss investasi dari pengelolaan dana jaminan sosial. Namun, belum terdapat penjelasan lebih rinci dari Korps Adhyaksa.

Ketika dihubungi Bisnis, Selasa (26/1/2021), Timboel membenarkan bahwa memang terdapat unrealized loss dari BPJS Ketenagakerjaan, khususnya dari investasi di pasar modal, karena kinerjanya tertekan selama pandemi Covid-19.

Dari data yang didapatkan oleh pihaknya, nilai unrealized loss BPJS Ketenagakerjaan per 31 Desember 2020 sebesar Rp24 triliun. Namun, angkanya menurun pada 14 Januari 2021 menjadi Rp13 triliun seiring pergerakan IHSG.

Adapun, berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, nilai unrealized loss BPJS Ketenagakerjaan per Desember 2020 berkisar Rp13 triliun - Rp14 triliun. Catatan unrealized loss terbesar terjadi dalam kurun Agustus–September 2020 yang mencapai sekitar Rp40 triliun.

Namun, menurutnya, kondisi unrealized loss tidak serta merta menjadi suatu tindak pidana. Bahkan akan menjadi preseden buruk bagi pengelolaan investasi oleh institusi. Ibarat makan buah simalakama, jika berinvestasi akan menjadi salah, tapi kalau tidak, dana kelolaan tidak bisa tumbuh optimal.

"Penyidikan harus dihormati sebagai proses, tapi perlu ada kejelasan ini arahnya mau ke mana, apa yang diangkat sebagai pidana. Kalau unrealized loss diangkat sebagai pidana presedennya akan buruk ke depan, lalu khawatirnya tidak ada penempatan di instrumen seperti saham lagi," ujar Timboel kepada Bisnis, Selasa (26/1/2021).

Dia berpendapat, jika unrealized loss dijadikan dasar dalam menuntut pidana, maka direksi yang akan datang akan takut berinvestasi di instrumen yang agresif seperti saham.  

“Misalnya, catatan kami, BPJS Ketenagakerjaan membeli saham Garuda 2012, lalu ternyata dia keluar dari LQ45, enggak dijual karena enggak ada cutloss, kalau itu dipidanakan kan enggak masuk akal," paparnya.

Kalau dipaksakan sebagai pidana maka dampaknya akan meluas. Selain itu, dia mengatakan jika di waktu yang akan datang IHSG kembali menguat saat perekonomian normal lagi, maka unrealized loss akan turun dan bahkan berbalik jadi untung.

Apalagi, imbuhnya, dana kelolaan BP Jamsostek terus naik menjadi Rp494,06 triliun per awal tahun seiring dengan turunnya unrealized loss. Nilainya tumbuh hampir 100 persen jika dibandingkan dengan posisi 2016, saat jajaran direksi saat ini mulai menjabat yakni sebesar Rp261,22 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Lili Sunardi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper