Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) mengingatkan perbankan agar tidak malas menyalurkan kredit, terutama bagi yang kondisinya memang likuid atau memiliki pendanaan tinggi.
“Jadi ini artinya untuk mendorong bank-bank supaya tidak menjadi lazy banks, lebih baik menaruh di SBN [yang] risk-free dan return-nya cukup baik,” kata Asisten Gubernur BI dan Kepala Departemen Kebijakan Makroprudential Juda Agung dalam webinar ‘Kafegama Series 1: Daya Dorong Relaksasi Pajak Dan Kredit Kendaraan Serta Properti Terhadap Pertumbuhan Asuransi’, Jum’at (26/3/2021).
Melalui kebijakan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM), Juda mengingatkan BI akan memberi sanksi kepada perbankan dengan likuiditas berlebih, namun memilih untuk menyimpan pendanaannya di instrumen seperti surat berharga negara (SBN) ketimbang menyalurkan kredit.
Penalti berbentuk kewajiban giro Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah (RIMS), nantinya akan ditempatkan di Bank Indonesia.
Secara bertahap, perbankan yang memiliki RIM/RIMS di bawah 75 persen akan diwajiban membayar giro RIM berlaku mulai 1 Mei 2021. Kemudian, skema tersebut akan kembali diterapkan untuk bank dengan RIM/RIMS di bawah 84 persen mulai Januari 2022.
Juda menyebut rasio optimal kini berada di sekitar 78 persen-79 persen, sebelum dikembalikan ke 84-94 persen di Januari tahun depan.
“Tahun lalu kita relaksasi kebijakan ini karena tahun lalu bank-bank butuh likuiditas. Tahun in kita coba reaktivasi kembali dengan memebrikan penalti bagi bank-bank yang likuiditasnya tidak mau kasih kredit, likuiditasnya ditaruh di instrumen seperti SBN,” katanya.
Menurutnya, hal tersebut adalah bentuk disinsentif BI terhadap bank-bank yang kurang memberikan kredit sementara pendanaan cukup tinggi.