Bisnis.com, JAKARTA - PT Bank Seabank Indonesia (SeaBank) telah merilis laporan keuangan sepanjang 2020 di website perseroan pada hari ini, Jumat (30/4/2021).
Diketahui, SeaBank merupakan nama baru PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE) setelah resmi diakuisisi oleh Sea Group pada awal tahun ini.
Dalam laporan keuangan per 31 Desember 2020, SeaBank mencatat rugi bersih sebesar Rp598,10 miliar. Rugi tersebut naik 338 persen dari rugi tahun sebelumnya sebesar Rp136,50 miliar.
Direktur Utama SeaBank Sasmaya Tuhuleley melaporkan pada tahun lalu Bank mencatat rugi bersih sebesar Rp598,10 miliar. Pendapatan bunga bersih (NII) tumbuh 21,15 persen, dari Rpp146,22 miliar pada tahun 2019 menjadi Rp177,15 miliar. Sementara beban operasional tercatat sebesar Rp757,35 miliar atau naik 157,87 persen dari tahun lalu Rp293,70 miliar.
Kenaikan NII disebabkan oleh penurunan beban bunga sebesar Rp123 miliar atau 38,92 persen sebagai akibat dari usaha perseroan dalam menurunkan biaya dana, sejalan dengan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (7-day reverse repo rate) sebesar 125bps yoy dan menurunnya kebutuhan dana.
Selama 2020, manajemen melakukan serangkaian upaya untuk memperbaiki rasio kualitas kredit, di antaranya dengan menyiapkan cakupan cadangan yang lebih besar untuk portofolio kredit Bank, merespons tantangan kondisi ekonomi saat ini.
Sebagai hasilnya, SeaBank membukukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang signifikan sehingga terjadi kenaikan beban usaha. Sehubungan dengan itu, rasio non-performing loans (NPL) neto perseroan turun menjadi 0,33 persen pada akhir 2020 dari 2,06 persen pada tahun sebelumnya.
"Beban usaha yang lebih tinggi dari target terutama disebabkan oleh CKPN sebesar Rp500 miliar yang mengakibatkan rugi bersih senilai Rp598 miliar di 2020," jelasnya dikutip dari laporan tahunan 2020, Jumat (30/4/2021).
Komisaris Utama SeaBank Dono Boestami mengatakan Dewan Komisaris menilai bahwa direksi telah melakukan upaya yang maksimal untuk meningkatkan kinerja bank, tetapi belum dapat memenuhi beberapa target yang telah direncanakan dan ditetapkan dalam RBB.
Faktor yang mengakibatkan tidak tercapainya target RBB antara lain penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19 yang berdampak kepada kinerja beberapa debitur dan kemudian berdampak terhadap usaha bank dalam melakukan upaya penagihan dan penyelesaian kredit bermasalah.
Sejalan dengan tren penurunan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (7 days reverse repo rate), perseroan melakukan penyesuaian tingkat suku bunga simpanan yang berdampak pada peningkatan margin suku bunga. Namun, hal ini tidak mampu mengimbangi peningkatan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) kredit yang jauh lebih besar.
Selain akibat penurunan tingkat suku bunga di pasar, penurunan biaya dana (COF) juga disebabkan oleh perubahan komposisi DPK yang ditunjukkan dengan perbaikan rasio CASA dari 18,96 persen pada 31 Desember 2019 menjadi 65,25 persen pada 31 Desember 2020.
"Kondisi ini belum bisa dimanfaatkan secara optimal untuk menghasilkan laba karena bank belum mampu melakukan ekspansi kredit akibat masih banyaknya kredit bermasalah [NPL] yang harus ditangani serta kondisi eksternal yang belum mendukung," terangnya dalam laporan tahunan.