Bisnis.com, JAKARTA - Indikator ekonomi Amerika Serikat (AS) mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. US Economic Analysis (2021) mewartakan output negeri Paman Sam tersebut terakselerasi 6,4% (yoy) pada triwulan I/2021.
Sektor konsumsi menjadi penopang pertumbuhan. Konsumsi rumah tangga sendiri tumbuh 11,3% (yoy) dan konsumsi pemerintah naik 5,8% (yoy). Perbaikan indikator-indikator ekonomi tersebut didukung oleh penurunan indeks ketidakpastian kebijakan ekonomi.
Indikator news based policy uncertainty index sempat mencapai 503 pada Mei 2020 dan menurun menjadi 173 pada Mei 2021. Indeks tersebut mencapai level terendah pada 141 per April 2021.
Kondisi tersebut memberikan spillover terhadap penurunan angka pengangguran terbuka (TPT). Pada Mei lalu, TPT sebesar 5,8% atau turun signifikan dari 13,3% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. AS siap pulih tetapi tentu akan memberikan dampak bagi negara-negara lain.
Pertumbuhan ekonomi AS yang semakin solid pada gilirannya mendorong inflasi. Angkanya sudah jauh di atas target inflasi bank sentral sebesar 2%. Pada Maret lalu inflasi tahunan AS mencapai 2,6%, sedangkan April dan Mei masing-masing 4,2% dan 5%.
Inflasi energi naik hingga 28% (yoy), yang dapat mencerminkan aktivitas industri manufaktur semakin meningkat. Purchasing Manager Index (PMI) mencapai lebih tinggi hingga 61,2% pada Mei. Tentu, AS tidak ingin ekonominya terlalu panas karena akan mengganggu pemulihan yang berjalan.
Dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC), the Fed secara signifikan meningkatkan ekspektasi inflasi 2021. Sejalan dengan itu, the Fed berencana mempercepat penaikan suku bunga acuan. The fed fund rate mungkin akan naik hingga dua kali sebelum 2023.
Becermin pada krisis keuangan global 2008, lonjakan inflasi diikuti dengan pengurangan stimulus bertahap (tapering off) dan penaikan bunga acuan (the Fed fund rate). Tapering off tersebut juga diarahkan agar neraca the Fed tidak terlalu gemuk akibat lonjakan pembelian aset selama pademi.
Menurut data Statista (2021) pada Maret 2020, neraca the Fed sebesar US$4,31 triliun dan meningkat hingga US$7,83 triliun pada Mei 2021. Selama periode tersebut, neraca the Fed naik sebesar US$3,52 triliun atau 81%.
Bagi Indonesia pemulihan ekonomi AS memberikan peluang dan tantangan cukup berat. Peluang yang dimaksud adalah potensi lonjakan ekspor. AS merupakan pasar tradisional ekspor Indonesia.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (2021), porsi nilai ekspor Indonesia ke AS sekitar 12% dari total nilai ekspor. Peluang memacu ekspor cukup terbuka karena Indonesia masih dapat memanfaatkan Generalized System of Preference (GSP), yaitu diskon tarif impor bagi beberapa negara tertentu.
Namun, upaya memacu investasi langsung dinilai terkendala berbagai hal seperti regulasi-regulasi turunan dari UU Cipta Kerja yang belum selesai. Meski ekspor berpeluang meningkat tetapi tantangan dari pemulihan ekonomi AS justru lebih besar, khususnya bagi sektor moneter. Persoalan intinya adalah pada tingginya kebergantungan Indonesia pada dana asing.
Sementara itu, tipikal dana asing tersebut cenderung bergerak ke aset-aset safe heaven (flight to quality) ketika terjadi goncangan. Wujud nyata dari flight to quality tersebut terlihat dari lonjakan dana keluar (capital outflow) yang selanjutnya menekan rupiah bukan hanya terhadap dolar AS tetapi juga mata uang lainnya.
Untuk menahan rupiah tidak tertekan lebih dalam, otoritas moneter menaikkan suku bunga acuan (7 Days Repo Rate/7DRR). Harapannya, investor tetap berada di Indonesia dan tidak menarik dananya dari pasar saham maupun pasar obligasi.
Peningkatan suku bunga acuan biasanya langsung bertransmisi ke perbankan. Suku bunga perbankan sangat sensitif terhadap kenaikan tetapi lambat saat menurunkan. Tentu, kenaikan bunga kredit menekan realisasi kredit, yang sejak beberapa bulan belakangan tumbuh negatif.
Muara dari shock tersebut dapat diamati lewat perlambatan pertumbuhan ekonomi. Situasi semakin sulit karena triwulan-triwulan sebelumnya Indonesia tumbuh negatif.
Tampaknya, cukup beralasan untuk menyajikan bagaimana pengalaman Indonesia saat tapering off 2013 saat rupiah tertekan hingga Rp12.519 per dolar AS atau 26% (yoy). Depresiasi terus belanjut pada 2014 dan 2015 karena pada tahun yang sama terjadi kenaikan harga minyak dunia.
Untuk menjaga agar rupiah tidak tertekan tajam, Bank Indonesia (BI) mengintervensi pasar yang menguras cadangan devisa besar. Pada 2013, cadangan devisa turun sekitar US$13,4 miliar atau 11,9% (yoy).
Selanjutnya, BI menaikkan suku bunga acuan yang sangat tinggi pada 2013 hingga 175 basis point (bps) menjadi 7,75%. Penyesuaian suku bunga acuan tersebut mendorong suku bunga simpanan berjangka (>=12 bulan) naik 109 bps.
Suku bunga kredit modal kerja sebesar 64 bps dan suku bunga kredit investasi naik 55 bps. Pertumbuhan kredit mulai melambat pada 2014, hanya 11,6% (yoy). Tahun sebelumnya, kredit tumbuh hingga 21,8% (yoy). Artinya, dampak tapering off terhadap ekonomi Indonesia sangat tajam, sehingga indikator-indikator perekonomian tertekan.
Situasi 2021 relatif lebih menantang karena ekonomi Indonesia benar-benar terpukul akibat pandemi Covid-19. Untuk mengantisipasinya, opsi kebijakan ahead the curve cukup dilematis bagi BI karena akan kontraproduktif terhadap pemulihan ekonomi nasional.